Bekasi, Masa Kerajaan…
Penelusuran Poerbatjaraka (seorang ahli bahasa Sansakerta dan bahasa Jawa Kuno). Kata “Bekasi” secara filologis berasal dari kata Candrabhaga; Candra berarti bulan (“sasi” dalam bahasa Jawa Kuno) dan Bhaga berarti bagian. Jadi Candrabhaga berarti bagian dari bulan. Pelafalannya kata Candrabhaga kadang berubah menjadi Sasibhaga atau Bhagasasi. Dalam pengucapannya sering disingkat Bhagasi, dan karena pengaruh bahasa Belanda sering ditulis Bacassie (di Stasiun KA Lemahabang pernah ditemukan plang nama Bacassie). Kata Bacassie kemudian berubah menjadi Bekasi sampai dengan sekarang.
Candrabhaga merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara, yang berdiri sejak abad ke 5 Masehi. Ada 7 (tujuh) prasasti yang menyebutkan adanya kerajaan Tarumanagara yang dipimpin oleh Maharaja Purnawarman, yakni : Prasasti Tugu (Cilincing, Jakarta), Prasasti Ciaruteun, Prasasti Muara Cianteun, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Jambu, Prasasti Pasir Awi (ke enam prasasti ini ada di Daerah Bogor), dan satu prasasti di daerah Bandung Selatan (Prasasti Cidangiang).
Diduga bahwa Bekasi merupakan salah satu pusat Kerajaan Tarumanagara (Prasasti Tugu, berbunyi : ..dahulu kali yang bernama Kali Candrabhaga digali oleh Maharaja Yang Mulia Purnawarman, yang mengalir hingga ke laut, bahkan kali ini mengalir disekeliling istana kerajaan. Kemudian, semasa 22 tahun dari tahta raja yang mulia dan bijaksana beserta seluruh panji-panjinya menggali kali yang indah dan berair jernih, “Gomati” namanya. Setelah sungai itu mengalir disekitar tanah kediaman Yang Mulia Sang Purnawarman. Pekerjaan ini dimulai pada hari yang baik, yaitu pada tanggal 8 paro petang bulan phalguna dan diakhiri pada tanggal 13 paro terang bulan Caitra. Jadi, selesai hanya 21 hari saja. Panjang hasil galian kali itu mencapai 6.122 tumbak. Untuk itu, diadakan selamatan yang dipimpin oleh para Brahmana dan Raja mendharmakan 1000 ekor sapi…). Tulisan dalam prasasti ini menggambarkan perintah Raja Purnawarman untuk menggali kali Candrabhaga, yang bertujuan untuk mengairi sawah dan menghindar dari bencana banjir yang kerap melanda wilayah Kerajaan Tarumanagara.
Setelah kerajaan Tarumanagara runtuh (abad 7), kerajaan yang memiliki pengaruh cukup besar terhadap Bekasi adalah Kerajaan Padjadjaran, terlihat dari situs sejarah Batu Tulis (di daerah Bogor), Sutarga lebih jauh menjelaskan, bahwa Bekasi merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Padjadjaran dan merupakan salah satu pelabuhan sungai yang ramai dikunjungi oleh para pedagang. Bekasi menjadi kota yang sangat penting bagi Padjadjaran, selanjutnya menjelaskan bahwa: “..Pakuan adalah Ibukota Kerajaan Padjadjaran yang baru. Proses perpindahan ini didasarkan atas pertimbangan geopolitik dan strategi militer. Sebab, jalur sepanjang Pakuan banyak dilalui aliran sungai besar yakni sungai Ciliwung dan Cisadane. Oleh sebab itu, kota-kota pelabuhan yang ramai ketika itu akan mudah terkontrol dengan baik seperti Bekasi, Karawang, Kelapa, Tanggerang dan Mahaten atau Banten Sorasoan…”
Demikianlah, waktu berlalu, kerajaan-demi kerajaan tumbuh, berkembang, mengalami masa kejayaan, runtuh, timbul kerajaan baru. Kedudukan Bekasi tetap menempati posisi strategis dan tercatat dalam sejarah masing-masing kerajaan (terakhir tercatat dalam sejarah, kerajaan yang menguasai Bekasi adalah Kerajaan Sumedanglarang, yang menjadi bagian dari Kerajaan Mataram). Bahkan bukti-bukti mengenai keberadaan kerajaan ini sampai sekarang masih ada, misalnya : ditemukannya makam Wangsawidjaja dan Ratu Mayangsari (batu nisan), makam Wijayakusumah serta sumur mandinya yang terdapat di kampung Ciketing, Desa Mustika Jaya, Bantargebang. Dimana baik batu nisan maupun kondisi sumur serta bebatuan sekitarnya, menunjukkan bahwa usianya parallel dengan masa Kerajaan Sumedanglarang. Demikian pula penemuan rantai di Kobak Rante, Desa Sukamakmur, Kecamatan Sukakarya (konon katanya, daerah Kobak Rante adalah daerah pinggir sungai yang cukup besar, hingga mampu dilayari kapal. Jalur ini sering digunakan patroli kapal dari Sumedanglarang. Suatu waktu, kapal bernama Terongpeot terdampar disana, sungai mengalami pendangkalan, Terongpeot tidak bisa berlayar, kayunya menjadi lapuk dan tinggallah rantainya saja…)
Bekasi, masa pendudukan Belanda…
Melihat sejarah Bekasi pada masa pendudukan Belanda, hampir sama dengan melihat sejarah Indonesia secara umum, karena letaknya berdekatan dengan Jakarta, maka sejarah Jakarta, dari Jayakarta, Batavia, Sunda Kalapa, sampai dengan Jakarta yang kita kenal sekarang melekat erat dengan Bekasi.
Tahun 1610, saat Pangeran Jayakarta Wijayakrama mulai melakukan perjanjian dagang dengan VOC (Verenigde Oost-indische Compagnie/semacam Kamar Dagang Belanda), yang empat tahun kemudian (1614), Gubernur Jendral’nya (Van Reijnst) mendapatkan ijin mendirikan benteng di sebelah utara keraton. Tahun 1618, Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen memperluas benteng hingga menjadi bangunan yang kokoh, berbentuk segi empat dimana disetiap sudutnya, ditempatkan meriam yang mengarah ke keraton. Tindakan provokasi dan mengancam ini, menimbulkan amarah Pangeran Jayakarta, yang kemudian menyerang benteng ini. Serangan ini ternyata sudah ditunggu oleh VOC, maka terjadilah pertempuran antara pasukan Pangeran Jayakarta dengan VOC (April-Mei 1619). Dan sejarah Indonesia mencatat, inilah awal bangsa Belanda (VOC dan kemudian digantikan langsung oleh Pemerintah Kerajaan Belanda) mulai menancapkan kuku penjajahannya dibumi Indonesia.
Setelah menguasai Jayakarta/Batavia (1619), Belanda berusaha memperluas daerah kekuasaannya ke Kerajaan Mataram, karena Raja Mataram mempunyai pengaruh yang sangat besar di Pulau Jawa, upaya ini menimbulkan kemarahan Sultan Agung Hanyorokokusumo.
Pada tahun 1628, Sultan mengerahkan 2 bergodo (setingkat Brigade) angkatan lautnya untuk menyerang Batavia, yang dipimpin oleh Tumenggung Baureksa dan Tumenggung Sura Agul-agul, serta dibantu oleh Tumenggung Mandureja dan Tumenggung Upasanta. Penyerangan besar-besaran ini dilakukan setelah pasukan Mataram pimpinan Kyai Rangga (Tumenggung Tegal) gagal menguasai Banten pada April 1628. Tumenggung Baureksa membawa 50 perahu perang yang dilengkapi persediaan beras, padi, kelapa, gula dan pelbagai keperluan hidup sehari-hari. Namun, karena jarak dan waktu yang lama, serangan ini dapat digagalkan Belanda karena kalah persenjataan dan kekurangan pasokan logistik pasukan.
Walaupun mengalami kekalahan telak, pasukan Mataram tidak mengendurkan niatnya untuk melakukan penyerangan kembali. Gelombang kedua, pasukan Mataram berangkat ke Batavia pada pertengahan Mei 1629. 20 Juni 1629, pasukan infantri yang dipimpin oleh Kyai Adipati Juminah, Kyai Adipati Purbaya dan Kyai Adipati Puger yang juga dibantu oleh Tumenggung Singaranu, Raden Aria Wiranatapada, Tumenggung Madiun dan Kyai Sumenep, menyerbu Batavia. Sebelumnya pasukan Mataram telah disiapkan matang dan jauh sebelum gerakan ofensif dilakukan. Sepanjang rute perjalanan kearah Batavia sudah dikirim terlebih dulu para punggawa yang bertugas menyediakan suplai logistik pasukan. Sejarah mencatat daerah suplai logistik pasukan Mataram berada disekitar wilayah Tegal, Cirebon, Indramayu, Karawang dan Bekasi (base camp di Bekasi berada di daerah Babelan).
Batavia dikepung dari segala penjuru, pasukan Mataram yang pulang dari Banten ikut menutup Batavia dari arah Barat (Kyai Rangga), tetapi sejarah kemudian mencatat bahwa walaupun dikepung dari segala penjuru ternyata Belanda dapat mempertahankan Batavia bahkan dapat memaksa mundur pasukan Mataram ke daerah pedalaman. Kegagalan ini, menyebabkan sebagian besar pasukan Mataram memilih untuk tidak kembali ke Mataram, karena Sultan Agung sudah menurunkan titah bahwa “…akan membunuh (dipenggal kepalanya) pasukan yang gagal melakukan penyerangan, bila kembali ke Mataram..”. Pasukan Mataram ini, kemudian menetap di wilayah Bekasi dan membaur dengan penduduk asli, terutama di sekitar daerah pantai dan di pedalaman, misalnya di Pekopen (konon, Pekopen berasal dari kata pe-kopi-an, artinya tempat istirahat dan ngopi’nya para tentara Mataram), Cibarusah, Pondok Rangon (konon juga, merupakan pondok tempat bala tentara Mataram mengadakan perundingan dan mengatur siasat penyerbuan, didirikan oleh Pangeran Rangga), Tambun, dan bahkan ada pula yang membuka perkampungan baru, karenanya sangat beralasan bila pengaruh kebudayaan Jawa terasa di sebagian daerah Bekasi. Tentara Mataram yang datang ke Bekasi, tidak hanya berasal dari Mataram saja (Jawa Tengah), tetapi juga ada yang berasal dari Sumenep (Madura, Jawa Timur), Kerajaan Padjadjaran, Galuh dan Sumedanglarang (Jawa Barat). Karenanya di Bekasi terdapat daerah-daerah yang berbahasa Sunda, dialek Banten, Jawa atau campuran. Kedatangan tentara Mataram selain berpengaruh terhadap bahasa, penamaan tempat juga ikut memperkaya khasanah budaya Bekasi, seperti Wayang Wong, Wayang Kulit, Calung, Topeng dan lain-lain. Selain itu ada juga kesenian olah keprajuritan “ujungan” yang menampilkan keberanian, ketrampilan dan sentuhan ilmu bela diri, khas olah raga prajurit.
Bekasi, Masa Pemerintahan Hindia Belanda…
Bekasi, pada masa ini masuk ke dalam Regentschap Meester Cornelis, yang terbagi atas empat district, yaitu Meester Cornelis, Kebayoran, Bekasi dan Cikarang. District Bekasi, pada masa penjajahan Belanda dikenal sebagai wilayah pertanian yang subur, yang terdiri atas tanah-tanah partikelir, system kepemilikan tanahnya dikuasai oleh tuan-tuan tanah (kaum partikelir), yang terdiri dari pengusaha Eropa dan para saudagar Cina. Diatas tanah partikelir ini ditempatkan Kepala Desa atau Demang, yang diangkat oleh Residen dan digaji oleh tuan tanah. Demang ini dibantu oleh seorang Juru Tulis, para Kepala Kampung, seorang amil, seorang pencalang (pegawai politik desa), seorang kebayan (pesuruh desa), dan seorang ulu-ulu (pengatur pengairan).
Untuk mengawasi tanah, para tuan tanah mengangkat pegawai atau pembantu dekatnya, disebut potia atau lands opziener. Potia biasanya keturunan Cina, yang diangkat oleh tuan tanah. Tugas potia adalah mengawasi para pekerja, serta mewakili tuan tanah apabila tidak ada ditempat. Disamping itu ada juga Mandor yang menguasai suatu wilayah, disebut wilayah kemandoran. Dalam praktek sehari-hari, mandor sangatlah berkuasa, seringkali tindakannya terhadap para penggarap melampaui batas-batas kemanusiaan. Para penggarap adalah pemilik tanah sebelumnya, yang tanahnya dijual pada tuan tanah. Orang yang diangkat mandor biasanya dari para jagoan atau jawara yang ditakuti oleh para penduduk.
Distrik Bekasi terkenal subur yang produktif, hasilnya lebih baik jika dibandingkan dengan distrik-distrik lain di Batavia, distrik Bekasi rata-rata mencapai 30-40 pikul padi setiap bau, sedangkan distrik lain hanya mampu menghasilkan padi 15-30 pikul setiap bau’nya. Namun demikian yang menikmati hasil kesuburan tanah Bekasi adalah Sang tuan tanah, bukanlah rakyat Bekasi. Rakyat Bekasi tetap kekurangan, dalam kondisi yang serba sulit, seringkali muncul tokoh pembela rakyat kecil, semisal Entong Tolo, seorang kepala perambok yang selalu menggasak harta orang-orang kaya, kemudian hasilnya dibagikan kepada rakyat kecil, karenanya rakyat sangat menghormati dan melindungi keluarga Entong Tolo, Sang Maling Budiman, Robin Hood’nya rakyat Bekasi. Di hampir semua wilayah Bekasi memiliki cerita sejenis, dengan versi dan nama tokoh yang berbeda. Hal ini juga, yang mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat Bekasi, terhadap sesuatu yang berhubungan dengan ke’jawara’an.
Setelah Entong Tolo ditangkap dan dibuang ke Menado, tahun 1913 di Bekasi muncul organisasi Sarekat Islam (SI) yang banyak diminati masyarakat yang sebagian besar petani. Berbeda dengan di daerah lain, kepengurusan SI Bekasi didominasi oleh kalangan pedagang, petani, guru ngaji, bekas tuan tanah dan pejabat yang dipecat oleh Pemerintah Hindia Belanda, serta para jagoan yang dikenal sebagai rampok budiman. Karena jumlah yang cukup banyak, SI Bekasi kemudian menjadi kekuatan yang dominan ketika berhadapan dengan para tuan tanah. Antara 1913-1922, SI Bekasi menjadi penggerak berbagai protes sebagai upaya penentangan terhadap berbagai penindasan terhadap petani, misalnya pemogokkan kerja paksa (rodi), protes petani di Setu (1913) sampai pemogokkan pembayaran “cuke” (1918).
Bekasi, masa pendudukan Jepang…
Kedatangan Jepang di Indonesia bagi sebagian besar kalangan rakyat, memperkuat anggap eksatologis ramalan Jayabaya (buku “Jangka Jayabaya”, mengungkapkan :”…suatu ketika akan datang bangsa kulit kuning dari utara yang akan mengusir bangsa kulit putih. Namun, ia hanya akan memerintah sebentar yakni selama ‘seumur jagung’, sebagai Ratu Adil yang kelak akan melepaskan Indonesia dari belenggu penjajahan…”
Pada awalnya, penaklukan Jepang terhadap Belanda disambut dengan suka cita, yang dianggap sebagai pembebas dari penderitaan. Rakyat Bekasi menyambut dengan kegembiraan, dan semakin meluap ketika Jepang mengijinkan pengibaran Sang Merah Putih dan dinyanyikannya lagu Indonesia Raya. Namun kegembiraan rakyat Bekasi hanya sekejap, selang seminggu pemerintah Jepang mengeluarkan larangan pengibaran Sang Merah Putih dan lagu Indonesia Raya. Sebagai gantinya Jepang memerintahkan seluruh rakyat Bekasi mengibarkan bendera “Matahari Terbit” dan lagu “Kimigayo”. Melalui pemaksaan ini, Jepang memulai babak baru penindasan, yang semula dibanggakan sebagai “saudara tua”.
Kekejaman tentara Jepang semakin kentara, ketika mengintruksikan agar seluruh rakyat Bekasi berkumpul di depan kantor tangsi polisi, untuk menyaksikan hukuman pancung terhadap penduduk Telukbuyung bernama Mahbub, yang ditangkap karena disuga sebagai mata-mata Belanda dan menjual surat tugas perawatan kuda-kuda militer Jepang. Hukum pancung ini sebagai shock theraphy agar menimbulkan efek jera dan ketakutan bagi rakyat Bekasi. Bala tentara Jepang juga memberlakukan ekonomi perang, padi dan ternak yang ada di Bekasi Gun dicatat, dihimpun dan wajib diserahkan kepada penguasa militer Jepang. Bukan saja untuk keperluan sehari-hari tapi juga untuk keperluan jangka panjang, dalam rangka menunjang Perang Asia Timur Raya.
Akibatnya, rakyat Bekasi mengalami kekurangan pangan, keadaan ini makin diperparah dengan adanya “Romusha” (kerja rodi). Pemerintah militer Jepang juga melakukan penetrasi kebudayaan dengan memaksa para pemuda Bekasi untuk belajar semangat bushido (spirit of samurai), pendewaan Tenno Haika (kaisar Jepang). Para pemuda dididik melalui kursus atau dengan melalui pembentukan Seinendan, Keibodan, Heiho dan tentara Pembela Tanah Air (PETA), yang kemudian langsung ditempatkan kedalam organisasi militer Jepang.
Selain organisasi bentukan Jepang, pemuda Bekasi mengorganisasikan diri dalam organisasi non formal yaitu Gerakan Pemuda Islam Bekasi (GPIB), yang didirikan pada tahun 1943 atas inisiatif para pemuda Islam Bekasi yang setiap malam Jum’at mengadakan pengajian di Mesjid Al –Muwahiddin, Bekasi, para anggotanya terdiri atas pemuda santri, pemuda pendidikan umum dan pemuda “pasar” yang buta huruf. Awalnya GPIB dipimpin oleh Nurdin, setelah ia meninggal 1944, digantikan oleh Marzuki Urmaini. Hingga awal kemerdekaan BPIB memiliki anggota yang banyak, markasnya di rumah Hasan Sjahroni, di daerah pasar Bekasi, banyak anggotanya kemudian bergabung ke-BKR dan badan perjuangan yang dipimpin oleh KH Noer Alie. GPIB banyak memiliki Cabang antara lain, GPIB Pusat Daerah Bekasi (Marzuki Urmaini dan Muhayar), GPIB Daerah Ujung Malang (KH Noer Alie), GPIB Daerah Tambun (Angkut Abu Gozali, GPIB Kranji (M. Husein Kamaly) dan GPIB Cakung (Gusir).
Bekasi, masa kemerdekaan…
Awal Agustus 1945, tanda-tanda kekalahan Jepang dari Sekutu kian santer terdengar, terutama di kawasan Asia Pasifik. Setelah bom atom “memeluk erat” Hiroshima dan Nagasaki, Jepang menyerah. Gelora kemerdekaan tidak hanya milik pemuda Jakarta saja, pemuda Bekasi’pun menyambut antusias, ketika diminta mengawal dan menjaga keamanan Bung Karno dan Bung Hatta beserta rombongan yang “bergerak” ke Rengasdenglok, pemuda Bekasi bergerak bahu-membahu mengamankan jalur perjalanan kedua pemimpin tersebut, berangkat maupun kembali (bagi masyarakat yang dilintasi jalur perjalanan, memiliki nostalgia heroik’nya tersendiri, dan jalur inilah oleh rakyat Bekasi disebut dengan Jalan Lintas Proklamator, melintas wilayah kecamatan Kedungwaringin, Cikarang Timur, Karangbahagia.
Setelah peristiwa ini, esok harinya Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, pk 10.00 WIB di Pegangsaan Timur 56, atas nama Bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta membacakan Teks Proklamasi, yang kemudian disiarkan ke seluruh pelosok Indonesia. Rakyat termasuk rakyat Bekasi menyambut dengan penuh suka cita. Inilah titik awal untuk membangun bangsa setelah berabad-abad dibawah cengkraman penjajah, menjadi bangsa yang merdeka, wahai…alangkah indahnya !!
Sisi lain kabar gembira ini juga menimbulkan tindakan kekerasan, rakyat melampiaskan kemarahannya yang sudah terpendam lama akibat kekejaman tentara Jepang. Peristiwa pelucutan senjata dan pembunuhan terjadi juga di Bekasi. Peristiwa pembunuhan tuan tanah Telukpucung dan penahanan 49 truk milik Jepang pada 25 Agustus 1947 (2 truk bermuatan senjata disita, sedang 47 truk yang berisi tentara Jepang diperintahkan langsung ke Jakarta).
Insiden Kali Bekasi, sebuah epos yang memiliki arti yang sangat dalam bagi Rakyat Bekasi, menggambarkan keberanian Rakyat Bekasi, sekaligus tragis. Kali Bekasi merupakan garis demarkasi antara tentara sekutu (Inggris dan NICA) yang menduduki Jakarta dengan laskar-laskar Republik yang bertahan di seberang kali di bagian timur. Akibat pendudukan tentara Jepang yang kejam terhadap rakyat Bekasi, pemuda dan rakyat Bekasi bertindak sendiri dengan menangkap Orang-orang Jepang atau bahkan siapa saja yang diduga telah bekerja sama dengan Jepang. Pemuda dan rakyat Bekasi menghentikan setiap kereta api yang melintas Bekasi, baik yang keluar maupun menuju Jakarta. 19 Oktober 1945, meluncur kereta dari Jakarta yang mengangkut tawanan Jepang menuju Ciater (dipulangkan melalui lapangan udara Kalijati), kereta tersebut berhasil lolos dari hadangan, setibanya di Cikampek dihentikan oleh para pejuang disana dan diperintahkan kembali ke Jakarta. Rakyat Bekasi sudah menunggu, di Stasiun Bekasi seluruh gerbong kereta digeledah, ditemukan 90 orang tentara Jepang. Rakyat beringas ketika ditemukan senjata api milik seorang tawanan (ada ketentuan bahwa Jepang wajib menyerahkan seluruh persenjataannya), seluruh tawanan ditelanjangi dan ditempatkan di Rumah Gadai tepi kali Bekasi, yang dijadikan penjara sementara. Awak kereta sudah mencoba mencegah penggeledahan terhadap tawanan dengan menunjukkan surat perintah jalanan dari Menteri Subardjo yang ditandatangani Bung Karno, rakyat Bekasi tidak perduli, kemarahan memuncak karena pengalaman sejarah yang begitu kejam pada masa pendudukan Jepang. Setelah maghrib, seluruhnya digelandang ke tepi Kali Bekasi dan dibantai. Kali Bekasi yang jernih memerah darah.
Laksamana Maeda protes, meminta pertanggung-jawaban R. Soekanto (Kapolri waktu itu) dan meminta jaminan agar peristiwa seperti itu tidak terjadi lagi. Bunyi surat Maeda “…Kedjadian ini boleh dibilang beloem terdjadidalam Sedjarah doenia, dan kelakoean sematjam ini menodai perasaan soetji terhadap jang maha koeasa serta menghina terhadap perasaan kemanoesiaan. Hal ini dipandang sebagai boekti bahwa bangsa Indonesia dengan sikap jang demikian itoe tidak mempoenjai pendirian tegoeh di doenia ini. Djika dibiarkan keadaan semacam itoe mungkin akan meradjalela…etc”. R. Soekanto mendjawab, sekaligus sebagai pernyataan sikap pemerintah Republik, “… sesoenggoehnja jang mempoenjai hak mendjalankan hoekoeman menembak mati hanjalah pemerintah Repoeblik Indonesia, akan tetapi daerah Bekasi itoe seperti toean ketahoei ialah soeatoe daerah dimana rakjat beloem sama sekali toendoek kepada pemerintah Repoeblik Indonesia. Seperti dalam soerat itoe telah menjatakan penjelasan kami atas kedjadian itoe, maka pemerintah Repoeblik Indonesia telah beroesaha sebaik2-nja oentoek menolong 90 orang serdadoe Jepang itoe, akan tetapi oesaha itoe gagal…”. Akibat Insiden Kali Bekasi, Bung Karno merasa perlu untuk datang ke Bekasi (25 Oktober 1945), menenangkan rakyat Bekasi dan menghimbau agar peristiwa serupa itu tidak terulang lagi. Setelah Presiden memberikan amanatnya, rakyat Bekasi membubarkan diri dengan tenang.
Belanda masih belum rela melepas kuku’nya di Indonesia, “ndompleng” tentara Sekutu yang secara resmi membawa tugas sebagai Allied Prisoners of War and Interness/APWI (melucuti dan memulangkan tentara Jepang, mengevakuasi tawanan perang, menjaga keamanan dan ketertiban di bekas pendudukan Jepang yang diambil alih). Maksud Belanda kembali menguasai bumi pertiwi ini, membakar kemarahan Bangsa Indonesia, pemuda Bekasi berang, semboyan “Sekali Merdeka, Tetap Merdeka”, “Rawe2 Rantas, Malang2 Poetoeng”, “Bekasi Pantang Moendoer”, serta salam pekikan “MERDEKA” membahana di atmosfir Bekasi. Beribu-ribu rakyat Bekasi bersenjatakan bambu runcing, golok, keris dan beberapa pucuk senjata api hasil pampasan, rakyat Bekasi tetap menerobos barikade, menyerbu Jakarta, Lapangan Ikada. Membuktikan kepada dunia, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia telah berdiri dan ada! (Rapat besar Ikada tidak berlangsung mulus, Bung Karno hanya meminta rakyat untuk tetap tenang dan kembali ke rumah masing-masing).
Peristiwa Bekasi Lautan Api, juga merupakan sebuah bukti catatan Sejarah Perjuangan Rakyat Bekasi, yang banyak merenggut jiwa-jiwa patriotisme dalam mempertahankan kemerdekaan. Bermula dari jatuhnya pesawat Dakota Inggris di Rawa Gatel, Cakung (wilayah Bekasi ketika itu). Rakyat mengepung pesawat, seluruh awak pesawat dan penumpang (4 orang awak pesawat berkebangsaan Inggris dan 22 berkebangsaan India-Sykh, orang Bekasi nyebutnya “tentara ubel-ubel”), ditangkap dilucuti senjata serta pakaiannya, dibawa ke Markas TKR Ujung Menteng (pimpinan Umar Effendi dan Muhammad Amri), selanjutnya ditahan di tangsi polisi Bekasi.
Sekutu kemudian mengirimkan maklumat, kepada pejuang Bekasi (diterima Dan TKR Yon V, Mayor Sambas Atmadinata), isinya : “…segera seluruh tentara Inggris yang ditawan di Bekasi agar dikembalikan kepada pihak Inggris. Apabila tidak dikembalikan, maka Bekasi akan dibumi-hanguskan…”, Rakyat dan Pemuda Bekasi menolak isi maklumat tersebut (gue kagak takut, coy…!) tiga hari kemudian seluruh tawanan dibunuh.
Inggris mengirimkan Batalyon Infantri dan Artileri’nya (tentara Punjab ke-1/16, Skuadron Kavaleri FAVO ke-11, Pasukan Perintis ke-13, Pasukan Resimen Medan ke-37 dan Detasemen Kompi Medan ke-69), bergerak dari Jakarta menuju Cakung, melewati garis demarkasi dan memasuki wilayah Kranji. Pemuda dan Rakyat Bekasi melakukan penghadangan di Kp. Rawa Pasung, pintu lintasan kereta ditutup, rakyat Bekasi bersembunyi disemak-semak sekitarnya. Sekutu berhenti, disangkanya ada kereta yang akan melintas, saat lengah, rakyat Bekasi muncul dari semak-semak melumpuhkan pasukan sekutu yang membawa perlengkapan perang modern, bahkan pemuda Bekasi tanpa menghiraukan nyawanya, dengan gagah berani, naik keatas Panser. Pertempuran jarak dekat ini, membuat tentara Sekutu “keder”, mereka menarik mundur pasukan.
Sekutu kembali menyerang, dengan kekuatan lebih besar, puluhan truk berisi serdadu Inggris dan India (prajurit Punjab dalam dunia militer, terkenal dengan belati “kukri”nya) puluhan panser dan pesawat terbang menyerbu Bekasi. Rakyat Bekasi merubah taktik pertempuran, pusat kota dikosongkan, membentuk pasukan-pasukan kecil yang gagah berani, hit and run dijalankan, gerilya kota dimulai…, karena takut dan tidak menguasai wilayah, serdadu Inggris selalu berkelompok dalam pasukan jumlah besar.
Ketika pasukan Inggris sampai di tangsi Bekasi, mereka tidak menemukan seorangpun pejuang Bekasi, hanya menemukan mayat teman-temannya yang telah membusuk dan sebagian dikubur di belakang Tangsi Polisi Bekasi. Akibat kejadian itu, Sekutu mulai melakukan provokasi dengan melakukan penyerangan secara sporadis, pesawat udara dan pasukan darat melakukan serangan membabi buta, pesawat udara menggunakan bom-bom pembakar, pasukan darat membakari rumah-rumah penduduk.
Kampung Dua Ratus terbakar, kemudian meluas ke Kayuringin, Teluk Buyung, Teluk Angsan dan Pasar Bekasi. Bekasi Timur dan Barat berubah seperti “api unggun raksasa”, langit Bekasi menghitam, dipenuhi asal mengepul ke udara, hitam pekat. Pembakaran berlangsung hampir satu malam penuh, paginya hanya menyisakan asap dan debu, puing-puing berserakan. Ibu-ibu, anak-anak dan orang tua berteriak histeris menyaksikan ulah tentara Sekutu. Masyarakat Bekasi mengungsi, tidak dapat berbuat banyak untuk menyelamatkan harta bendanya.
Peristiwa ini menjadi berita besar bagi pers Nasional maupun Internasional, pers internasional mengutuk tindakan Inggris yang mengibaratkan dengan tindakan Nazi Jerman yang membakar habis kota Lydice-Cekoslowakia dalam Perang Dunia II. Perdana Menteri Sjahrir menyatakan “…jika Inggris menggunakan kekerasan untuk mengembalikan keamanan di Djawa, maka semua orang Indonesia akan melawan sebisa dia. Merdeka!!…”. Rosihan Anwar, yang sedang melakukan perjalanan ke Yogyakarta, pagi harinya, menyaksikan Bekasi dari sela-sela jendela kereta, menggambarkan…”Waktoe kita melewati Bekasi nampaklah di tepi djalan roemah2 habis terbakar menjadi deboe sebagai akibat kekerasan Inggris. Pemandangan amat menjedihkan, mengingatkan kita bahwa disana ada djedjak peperangan. Akan tetapi djoestroe dekat reroentoehan roemah itoe kita melihat perempoean toeroen ke sawah memasoekan benih-benih ke dalam loempoer. Pertentangan ini mengharoekan djiwa moesafir, sebab didekat reroentoehan moentjoel dengan tabahnya oesaha menghidoepkan. Itoelah bangsa Indonesia penoeh vitaliteit, mempunyai banjak kegembiraan dan tenaga hidoep ber-limpah2…”
Bekasi, terbentuknya Kabupaten Bekasi…
Berdasarkan aturan hukum pada saat itu dan melihat kegigihan rakyat memperjuangkan aspirasinya untuk membentuk suatu pemerintahan tersendiri, setingkat Kabupaten, mulailah para tokoh dan rakyat Bekasi berjuang agar pembentukan tersebut dapat terealisasikan. Awal tahun 1950, para pemimpin rakyat diantaranya R. Soepardi, KH Noer Alie, Namin, Aminudin dan Marzuki Urmaini membentuk “Panitia Amanat Rakyat Bekasi”, dan mengadakan rapat raksasa di Alun-alun Bekasi (17 Januari1950), yang dihadiri oleh ribuan rakyat yang datang dari pelbagai pelosok Bekasi, dihasilkan beberapa tuntutan yang terhimpun dalam “Resolusi 17 Januari”, yang antara lain menuntut agar nama Kabupaten Jatinegara dirubah menjadi Kabupaten Bekasi, tuntutan itu ditandatangani oleh Wedana Bekasi (A. Sirad) dan Asisten Wedana Bekasi (R. Harun).
Usulan tersebut akhirnya mendapat tanggapan dari Mohammad Hatta, dan menyetujui penggantian nama “Kabupaten Jatinegara” menjadi “Kabupaten Bekasi”, persetujuan ini semakin kuat dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 14 Tahun 1950 yang ditetapkan tanggal 8 Agustus 1950 tentang : Pembentukan Kabupaten-kabupaten di lingkungan Propinsi Jawa Barat, serta memperhatikan Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1950 tentang berlakunya undang-undang tersebut, maka Kabupaten Bekasi secara resmi terbentuk pada tanggal 15 Agustus 1950, dan berhak mengatur rumah tangganya sendiri, sebagaimana diatur oleh Undang-undang Pemerintah Daerah pada saat itu, yaitu UU No.22 Tahun 1948. Selanjutnya, ditetapkan oleh Pemerintah Daerah
Tingkat II Kabupaten Bekasi, bahwa tanggal 15 Agustus 1950 sebagai HARI JADI KABUPATEN
BEKASI, dan R. Suhandan Umar (sebelumnya Bupati Jatinegara) sebagai Bupati Bekasi pertama, kedudukan kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi tetap di Jatinegara (sekarang Markas Kodim 0505 Jayakarta, Jakarta).
Penutup Tulisan
Dalam perjalanannya kemudian, Bekasi mengalami perkembangan yang sangat pesat, menjadi kawasan industri yang men”dunia”, kawasan industri yang tidak hanya berisi pabrik-pabrik, tetapi juga didalamnya bercokol juga plaza, mal-mal, perumahan, lapangan golf, pusat bisnis bahkan sekolah-sekolah unggulan, dari sejak children play group sampai perguruan tinggi bertaraf nasional maupun international, yang mungkin pada jaman ‘Entong Tolo’ dulu, tak akan pernah bisa kita bayangkan.
Di sisi lain, Kabupaten Bekasi juga kini telah melahirkan seorang putra yang cantik nan rupawan, montok dan moleg, sexy dan mumpuni, bak pemain sinetron yang lagi digandrungi, Kota Bekasi. Kita, masyarakat Kabupaten Bekasi, orang tua’nya, selalu berdoa semoga putera ini sehat, pinter, berguna bagi nusa, bangsa, agama dan bangsanya, dan tidak menjadi Malin Kundang bagi orang tuanya….
Dengan terbentuknya Kota Bekasi, kita harus mampu menggali nilai-nilai kesejarahan yang ada di wilayah kabupaten (tanpa harus meninggalkan kebersamaan sejarah dengan kota), untuk dapat meningkatkan rasa kebanggaan dan rasa memiliki yang tinggi, sebagai warga masyarakat Kabupaten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar