Selasa, 11 Januari 2011

Bussines Plan Aspek SDM dan Organisasi

Bab II
“Bussines Plan Aspek SDM dan Organisasi”
I. Suber Daya Manusia
1. Kasir :
- Min. Pendidikan SMA
- Min. Usia 17 Tahun
- Jenis Kelamin Perempuan / Laki-laki
- Pengalaman min. di bidangnya
- Jujur , Teliti , Tekun
2. SPG :
- Min. Usia 16 Tahun
- Jenis kelamin Perempuan / Laki-laki
- Berpenampilan menarik
- Jujur dan menarik
3. Bagian Gudang
- Min. Usia 16 Tahun
- Jenis Kelamin Laki-laki
- Jujur
4. Security
- Min. Lulus SMA
- Min. Usia 17 tahun
- Jenis kelamin laki-laki
- Jujur

II. Struktur Organisasi Toko

Bussines Plan Aspek Teknik dan Produksi

Bab III
Bussines Plan Aspek Teknik dan Produksi

I. Teknik
Prosedur Penjualan
1. Lokasi penjualan strategis , dekat dengan konsumen.
2. Waktu buka dari pukul 10.00 –20.00
3. Pemasaran barang di promosikan melalui brosur dan internet
II. Produksi
1. Harga barang mulai dari Rp 10.000 – Rp 500.000
2. Barang yang jatuh karena kesalahan konsumen , di anggap membeli .
3. Ongkos untuk pesan antar daerah setempat Rp. 3.000 , luar daerah setempat Rp. 5.000 – Rp. 10.000

Bussines Plan Aspek Keuangan Permodalan

KATA PENGANTAR

Bismillahir rahmannirrahim
Puji syukur saya haturkan ke haribaan Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya saya dapat menghadirkan sebuah contoh proposal mengenai ”Bussines Plan TOKO BUKU BOIM “. Dimana dengan proposal ini, kami mengajak pembaca untuk mengetahui rencana sebuah bisnis yang dapat menghasilkan uang. Dengan mengetahui aspek yang terkandung di dalamnya.

Penulis



BAB I
“Bussines Plan Aspek Keuangan Permodalan”

I. Nama Bussines Plan “ TOKO BUKU BOIM ”
II. Tujuan :
1. Mengetahiu Aspek untuk sebuah Bussines Plan
2. Mempelajari Bussines Plan
III. PERMODALAN
1. Penyewaan toko
2. Fasilitas Toko :
- Meja untuk barang yang di jual
- 1 Unit komputer + printer untuk mencetak harga
- plastik untuk membungkus barang yang telah di beli
3. Barang-barang yang di jual :
- pensil gambar kartun 10 pack ( naruto , sinchan , doraemon ,sponge bobs , dragonball dll)
- penghapus berbentuk kartun 10 pack( naruto , sinchan , doraemon , spongebobs , dragon ball dll )
- buku gambar all colour 10buah ( merah , jingga , kuning , hijau , biru , nila , ungu )
- spidol snowman kecil 10 pack
- spidol snowman besar 10 pack ( hitam , merah , biru , hijau )
- tipe X kecil 10 buah
- tipe X besar 10 buah
- tipe X kertas 10 lembar
- Tas gaul 10 buah
IV. Modal awal :
1. Penyewaan Toko @1 tahun : Rp 10.000.000
2. Fasilitas Toko : Rp. 3.000.000
3. Barang-barang yang di jual : Rp. 2.000.000 +
Total modal : Rp. 15 .000.000

Bussines Plan Aspek Pemasaran

BAB IV
Bussines Plan Aspek Pemasaran

DISTRIBUTOR PULSA MURAH TRX TANPA KODE

Anda mau bisnis pulsa murah?
Anda mau jadi agen pulsa?
Anda mau buka counter?
Atau hanya mau jual pulsa?
DAFTAR aja disini GRATIS...!
Keunggulan:
1. Trx tanpa kode berlaku all operator.
2. Tidak ada target penjualan.
3. Harga pulsa lebih murah, dan bisa didownlinekan bonus realteam.
4. Trx sangat cepat 24jan non stop.
5. Stiap trx isi pulsa nama counter anda akan masuk ke planggan, bangga kan bs terkenal.
Pendaftaran gratis, reply trx smuax gratis, belm dposit sdh bs cek hrg.
6. Khusus mitra RADIKA CELL bs bikin website dgn hrg murah hub cs pendaftaran utk promosi diberbagai media. Cara pendaftaran ketik DT.NAMA.NOHP.KOTA contoh DT.Wahyucell.081939510528.jakarta kirim ke 085336088881 info lgkap kunjungi situs kami di website www.radikacell.co.cc

Selasa, 04 Januari 2011

Aku, Sahabat, dan Penjahat

KEVIN Danubrata melangkahkan kakinya dengan tenang memasuki taman kota. Matanya menatap tajam ke depan. Langkahnya yang pasti menunjukkan dia sudah mengenal taman ini dengan baik. Tanpa tergesa-gesa dia menuju salah satu bangku yang terdapat di bawah pohon. Bangku itu menghadap ke air mancur yang banyak terdapat di taman itu.
Di bangku itu telah duduk seorang wanita. Wanita itu berkulit putih, berambut hitam panjang, dan cantik. “Hai, Arya. Sudah nunggu lama?” sapa Kevin tenang.

“Duduklah,” balas si wanita tanpa menatap Kevin sama sekali. Matanya menatap kosong dengan ekspresi yang sulit digambarkan. Alis Kevin naik. Tidak biasanya Arya bersikap seperti ini. Namun dia pun duduk di bangku itu. Setelah duduk, Kevin tidak berkata apapun. Dia berpikir sejenak. Setelah makan siang tadi, dia menerima pesan singkat dari Arya yang memintanya datang ke sini. Maka dia datang tanpa bertanya-tanya.

Kevin merenungkan sikap Arya. Arya adalah sosok yang terkenal di kampus. Ia dikenal karena pikirannya yang cerdas, wajahnya yang cantik, dan sikapnya yang ramah. Keramahan yang tenang, tulus, dan alami. Namun ada kalanya dia bersikap dingin dan kurang bersahabat, seperti sekarang ini. Sikap yang jarang sekali ditunjukkan Arya.

Beberapa menit berlalu. Arya masih diselimuti kebungkaman yang aneh. Kevin pun tidak berniat mengusiknya. Dia tahu, Arya akan bicara pada saatnya. Dia dan Arya sudah lama bersahabat hingga cukup tahu tabiat masing-masing. Lagi pula Kevin sedang menikmati suasana tempat ini. Taman itu diselimuti cahaya senja yang berpendar, dan suasananya damai. Kevin selalu menyukai keheningan yang damai. Kala semilir angin menerpanya, ingatannya kembali ke beberapa bulan yang lalu.

Kala itu Kevin sedang berkeliaran di sebuah toko buku besar di Bandung. Alasannya adalah untuk mencari sebuah novel terkenal. Novel yang telah terbit beberapa waktu lalu, dan dengan cepat digemari. Kevin sangat ingin membeli novel itu. Selain memang hobi membaca, Kevin juga seorang penulis. Sudah sering cerpennya diterbitkan di majalah-majalah dan koran terkenal. Dan bulan lalu novel pertamanya terbit. Penulis yang baik adalah pembaca yang baik pula. Maka sejak itu Kevin makin rajin mengikuti perkembangan dunia tulis-menulis. Karena kesibukannya, Kevin baru bisa menyempatkan diri membelinya sekarang. Setelah mencari sebentar, matanya menemukan novel itu. Hanya tersisa satu. Saat akan mengambil novel itu, tangannya berbenturan dengan tangan seseorang. Kevin menoleh. Ternyata seorang wanita. Dan cantik pula. Wanita itu diam saja. Namun dari sikapnya tadi sudah jelas apa yang diinginkannya. Maka dengan sikap ksatria Kevin mengisyaratkan pada wanita itu untuk memiliki novel itu. Biarlah, pikirnya. Masih ada tempat lain.

Kala Kevin hendak beranjak, wanita itu menahannya. Tampaknya dia terkesan dengan sikap Kevin. Wanita itu pun memperkenalkan dirinya. Namanya Arya, dipanggil Arya. Kevin lalu memperkenalkan dirinya juga. Dan dilanjutkan dengan obrolan beberapa lama. Ternyata mereka memiliki hobi yang sama, meminati sastra. Dan juga satu hal lagi, ternyata mereka mahasiswa dari fakultas dan kampus yang sama.

Setelah pertemuan itu, mereka tetap berhubungan. Sampai sekarang Kevin masih heran dengan pertemuan itu. Walau berwajah tampan dan berbakat menulis serta bermusik, Kevin tidak mudah mengawali perkenalan. Dia suka berteman, tapi dia juga suka ketenangan. Agar mudah dapat inspirasi, pikirnya. Mungkin ini disebabkan sikap Arya yang ramah dan supel. Kevin pun tidak keberatan. Baginya Arya adalah sahabat. Selain karena mereka memiliki hobi yang sama, ini juga disebabkan karena sikap Arya yang ramah itu. Arya juga cerdas, sehingga dapat memahami cara berpikir Kevin yang menyukai ketenangan. Maka begitulah mereka adanya. Dua sahabat, tidak kurang, tidak lebih. Mereka merasa puas dengan sebutan itu, sahabat. Tempat sebagian diri kita tertambat.

Tiba-tiba, sebuah sengatan kecil di lengannya membuyarkan lamunan Kevin dan menyeretnya kembali ke realita. Ternyata nyamuk. Sial, gerutu Kevin. “Kevin,” akhirnya Arya memecah keheningan yang dibangunnya sendiri. “Ah…akhirnya. Ada apa, Arya?” tanya Kevin dengan tenang. “Kenapa?” Arya bertanya dengan nada yang dingin dan kosong. “Maksudnya?” Kevin masih tidak mengerti. “Kamis malam seminggu yang lalu, ruang kosong di kampus, pukul 11 malam.” hanya itu balasan Arya.

Kevin langsung tercekat. Kata-kata Arya bagai petir di siang bolong. Sesaat ia merasa jantungnya berhenti berdetak dan darah menguap dari tubuhnya. Jiwanya terguncang. Mati-matian ia mengendalikan tubuhnya yang gemetar. Jadi, Arya tahu. Setelah susah-payah menenangkan diri, dia meyusun kata-katanya.
“Bagaimana…kamu bisa tahu?” tanya Kevin.
“Karena saat itu aku ada di sana.” jawab Arya.

Jawaban itu memukul Kevin dengan telak untuk kedua kalinya. Dia tidak dapat berkata apa-apa lagi. Maka dia terdiam. Arya pun terdiam. Keduanya terdiam. Pikiran Arya pun melayang dituntun kesunyian. Dibimbing oleh ingatan, ke malam itu. Malam yang tak akan dilupakannya seumur hidupnya.
Kala itu Arya tinggal agak lama di kampus untuk mencari materi untuk tugasnya. Setelah selesai, dia pun bermaksud pulang. Saat sedang menyusuri koridor kampus yang lumayan gelap, dia mendengar suara-suara dari ruang di tikungan di depannya. Siapa yang bicara di kampus pada jam selarut ini, pikirnya. Arya lalu memperlambat langkahnya. Dia berhenti di tikungan sebelum pintu ruangan tempat suara itu berasal. Dia mendengarkan dengan seksama. Ada dua orang. Suara yang satunya tenang, dan yang lainnya kasar dan keras.
Arya mengenali salah satu suara itu. Kevin? pikirnya. Dia heran. Namun dia memilih tetap mendengarkan. Dia tercekat mengetahui isi pembicaraan itu. Makin lama pembicaraan makin panas. Suara yang keras itu makin lama makin kasar. Namun tiba-tiba hening beberapa lama, dan disusul bunyi yang keras. Akhirnya, pintu terbuka, dan seseorang melangkah ke luar ke arah berlawanan, berlalu tanpa menyadari kehadiran Arya. Arya tidak dapat berpikir jernih. Kakinya gemetar hebat. Tanpa pikir panjang lagi, ia melesat meninggalkan tempat itu, masuk ke mobilnya, dan segera pulang.

Esoknya, kampus pun gempar. Di ruang kosong itu ditemukan mayat Steve, mahasiswa di kampus itu juga. Bersama sepucuk pistol. Dan yang lebih menghebohkan, di sekitar mayat Steve berserakan berbagai bukti. Bukti tentang pengedaran narkoba. Ternyata Steve adalah pengedar di lingkungan kampus. Selain itu terdapat juga daftar nama anggota Steve, jalur pengedarannya, foto-foto transaksi, dan masih banyak lagi.

Keesokan harinya, berita itu muncul di halaman depan berbagai surat kabar. Jaringan pengedar di kampus dibekuk. Ternyata jaringan itu luas dan melibatkan beberapa aparat kepolisian. Itulah sebabnya komplotan ini bisa melebarkan sayapnya dalam kerahasiaan tanpa tercium sedikitpun. Kecuali bagi Kevin, pikir Arya.
Selama seminggu, Arya gelisah. Dia menjadi saksi dari sebuah pembunuhan. Dan pembunuh itu adalah sahabatnya. Namun korban adalah penjahat. Sampah masyarakat. Terjebak dalam dilema, Arya akhirnya mengambil tindakan. Dia harus mendapat kebenaran itu dari mulut Kevin sendiri.

“Kevin…ceritakan padaku apa yang terjadi malam itu, sekali lagi.” perintah Arya.
“Baiklah, Arya…” desah Kevin. “Malam itu aku memanggil Steve dengan membawa bukti, memaksanya menyerahkan diri ke polisi.”
“Apa kau sudah gila? Kau bisa dibunuhnya.”
“Tidak akan. Aku bilang padanya, jika aku mati, esoknya salinan bukti-bukti itu akan menghiasi media.”
“Dari mana kau dapatkan bukti-bukti itu?”
“Aku punya naluri yang tajam. Karena curiga pada Steve, kuselidiki dia berminggu-minggu.”
“Lalu? Apa yang terjadi?”
“Dia mengancamku dengan pistol untuk menyerahkan bukti. Dia tidak percaya akan ancamanku.”
“Apa? Steve…” Arya tak mampu melanjutkan.
“Aku terdesak. Nyawaku terancam. Sesaat Steve lengah, dan kuhantamkan pipa besi ke lehernya. Aku hanya bermaksud membuatnya pingsan. Ternyata dia mati.”
“Jadi…keheningan itu…”
“Saat Steve menodongku dengan pistolnya.”
“Dan suara keras itu…” Arya akhirnya mengerti.
“Kenapa polisi tidak menangkapmu?” Pertanyaan ini terus menghantui Arya.
Steve menjawab dengan suara bergetar. “Karena aku berhati-hati. Aku sudah menghapus sidik jariku yang ada di bukti-bukti itu sebelum bertemu Steve. Dan pertemuan itu rahasia. Ternyata Steve terbunuh. Aku panik. Sebelum keluar, kuhapus sidik jariku yang ada di pipa besi dan pegangan pintu.”

“Tanpa menyadari bahwa aku ada di balik tikungan…” balas Arya. “Jadi itu sebabnya…” dan Kevin pun tertunduk. Arya pun terdiam. Walau begitu, dia heran dengan tindakan Kevin. Menyelidiki Steve. Mengancamnya. Mungkin karena dia penulis dan banyak membaca, pikir Arya. Sampai di sini dia masih mengerti. Namun, menghapus bukti setelah membunuh. Dia merasa tak lagi mengenal sahabatnya. Dan masih ada satu pertanyaan, walau dia sudah tahu jawabannya.
“Kenapa kamu tidak meyerahkan diri?”
“Itu kecelakaan. Sepenuhnya pembelaan diri. Dan Steve sampah masyarakat. Dia pantas mati.”Arya tercekat mendengar kalimat terakhir itu.

“Itukah jawabanmu?”
“Itulah kebenaran, Arya.”
“Kebenaran? Apa maksudmu?”
“Kebenaran…adalah apa yang ingin didengar oleh masing-masing orang.” Arya terdiam.
“Lihat faktanya, Arya. Masyarakat tak peduli apakah pembunuh Steve tertangkap atau tidak. Mereka justru bahagia. Seorang perusak generasi muda mati, walau ini bukan keinginanku pada awalnya. Kampus kita pun jadi sedikit lebih baik. Inilah…kenyataannya.”
Jauh di bagian terdalam hati dan logikanya, dia mengakui Kevin benar. “Lalu, bagaimana denganku? Aku mengetahui kebenarannya.”
Kevin diam saja. Dia dan Arya sudah tahu jawabannya. Kevin tidak akan pernah mengusik Arya. Arya sahabatnya. Dan Arya pun mengerti. Dia tak bisa melaporkan Kevin. Kevin tak berniat membunuh. Dan jaringan pengedar itu sudah terungkap. Melaporkan Kevin hanya akan membahayakan nyawanya. Kevin sahabatnya.
Mereka sudah lama bersahabat. Saat itu mereka bisa mengetahui pikiran masing-masing tanpa bicara. Keheningan yang menggantung telah menjawab segalanya. Dan mereka pun tahu, karena kejadian ini, persahabatan mereka akan berubah. Entah berakhir atau berlanjut, yang pasti tak akan pernah sama lagi.

Malam mulai menyelimuti mereka. Dengan tenang, Arya berdiri dan beranjak, meninggalkan Kevin di sana. Di bangku itu. Bernaungkan malam berteman sunyi sepi dingin tak terperi. Pada malam itu bintang, pohon, air mancur, bangku, dan semua yang ada di taman itu menjadi saksi. Saksi akan kesunyian. Kesunyian yang menyesakkan seorang Kevin Danubrata.

Rajian S R,

Seorang Filosof

Cuaca semakin hari semakin tak bersahabat. Aku pikir cuaca akan terus seperti pertempuran antara Israel dan Palestina, gelap, kelam, dan gemuruh-gemuruh kecil yang menembus atmosfer bumi. Tapi, karena pusat tata surya tak mampu lagi membakar dirinya sendiri, makanya awan yang menyelimuti bumi pun diusirnya jauh-jauh. Awan hitam mulai berlari menghindar. Tanpa minta izin lagi kepada penghuni bumi, bola api besar itu mengobarkan panasnya.

Aku datang pagi-pagi sekali. Embun yang menusuk tulang pun belum usai menebarkan semerbak bau bunga putih mungil ini. Ketika aku masuk dalam kelas, terlihat tiga orang temanku yang sedang mengerjakan PR, pemandangan di kelas ini yang memang sudah biasa. Ya, sejak dilantik sebagai kelas excellent (kelas unggulan), semuanya harus lebih giat lagi belajar apalagi PR yang dihadapi semakin melimpah. Keadaan kelas tidak dipedulikan, sampah berserakan, meja dan kursi marah karena tak terurus. Aku memang orang yang egois dan mementingkan diri sendiri. Ketika salah seorang temanku membersihkan kelas, aku sedikitpun tak menoleh ke arahnya. Padahal sepuluh menit lagi bel akan berbunyi dan mendorong kami untuk siap belajar. Aku sibuk dengan tumpukan tugas yang berebut ingin diselesaikan. Angin sepoi-sepoi menerbangkan debu halus yang menerpa wajahku dan menyusup di balik kelopak mata, itu juga tak kuhiraukan. Memang pada hari itu bukan jadwal piketku. Tapi kebersihan dan kenyamanan kelaskan tanggung jawab bersama?

Beberapa menit kemudian bel pun bernyanyi riang dan menyuruh seluruh siswa untuk siap belajar. “Ya ampun, bagaimana ini? Seluruh PR harus diantar hari ini!” aku bergumam kecil di dalam hati.

Kursi belum penuh terisi oleh tuan-tuannya. Kemungkinan hari ini banyak lagi siswa yang terlambat. Ternyata tebakanku benar. Mereka diinterogasi oleh bibir-bibir yang tegas dan penuh hukuman. Bangunan yang bernyawa ini menyaksikan pengakuan setiap siswa. Di antara mereka terdapat salah seorang temanku di kelas ini. Dia masuk dengan tergesa-gesa dengan tas ransel besar di belakang pundaknya, Alquran mini di sakunya, dan gesekan sepatu yang bernyanyi riang. Remaja penghafiz Alquran ini menebarkan senyum manis di setiap sudut ruang hati teman-temannya. Dia adalah Kevin siswa terkeren, imut dan bisa dibilang seleb kelas ini.

Setelah selesai berdoa, kami belajar seperti biasanya, dituntut untuk selalu aktif dan bersemangat walaupun keadaan tak memungkinkan. Cahaya kecil menembus setiap ventilasi yang memberikan kehangatan ruangan yang tadinya seperti kutub. Aku dan lainnya mulai kegerahan. Perlahan-lahan kulepaskan jaket yang masih memelukku. Perubahan cuaca bukanlah alasan untuk tidak bersemangat dalam belajar. Hal itu tergantung pada pribadi masing-masing yang berpikir apakah visi dan tujuan hidup dapat tercapai tanpa pengorbanan mulai dari sekarang. Contohnya saja orang mukmin yang harus melewati dan menahan godaan syaitan untuk meneguk setetes air di kolam surga.

Pelajaran pertama dan kudua telah usai. Aroma tempat penggorengan mondar-mandir dan menusuk hidung. Cacing-cacing juga sudah SMS minta makan. Akhirnya bel bernyanyi sedikit serak karena dia juga kehausan. Kupu-kupu dan kumbang berhamburan dari sarangnya. Seluruh siswa keluar dari ketegangan menuju cerahnya kebebasan. Tapi waktu terus berjalan dan tak berlangsung lama. Baru sebentar rasanya menikmati tiupan angin yang membelai mesra, kejernihan dan ketenangan air serta tanaman yang tertancap elok dengan lambang kehijauan.

Lagi-lagi semuanya kembali ke sarang ilmu. Tapi kelas ini bersorak gembira katika menerima berita bahwa sang motivator selanjutnya tidak hadir. Hal itu menandakan kebebasan, tidak ada ketegangan untuk dua jam pelajaran. Makin siang hari makin berkobarlah bola api itu. Saklar baling-baling dihidupkan dengan kelajuan tinggi. Keadaan kelas sungguh memprihatinkan. Hiruk-pikuk seperti di dalam hutan yang terjadi perkelahian antara harimau dan serigala buas berebut makanan. Juga tak kalah serunya lagi dengan pasar yang mengobral gosip, kata-kata dan teka-teki yang menggelitik perut. Di balik keributan juga masih terlihat beberapa orang siswa yang menghargai waktu.

Di barisan bagian belakang, salah satu di antaranya yaitu ketua kelas kami sendiri. Dia seorang yang bijak, cerdas, dan selalu menghadapi suatu masalah dengan perasaan dingin, tekanan darah dan detak jantung normal. Remaja bertanggung jawab inilah yang selalu menutupi segala kekurangan di kelas, baik itu segi materil maupun moril. Mungkin dia bisa dijadikan panutan, penuh semangat belajar layaknya seorang filosof. Tapi di manakah semangatnya untuk menyadarkan teman-temannya bahwa menghargai waktu itu sangatlah penting. Aku juga menyadari bahwa aku tidak dapat menahan bibir ini untuk tidak meneluarkan suara.

Aku mulai terlena karena buaian baling-baling yang berada di atas kepalaku. Aku seperti tertidur di atas kasur pelangi yang empuk dan kelopak mawar sebagai selimutnya. Tiba-tiba otak kiriku membangunkan otak kananku yang sedang melamun. Aku tersentak dari lena. Ketua kelas kami tiba-tiba muncul di hadapan mata-mata yang menjadi sumber bunyi. Pandanganku yang tadinya tembus melewati tembok, tertuju padanya. Sorotan matanya tajam penuh makna. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari lidahnya. Dia terus termenung dan memikirkan tingkah laku siswa di kelas ini yang tak bisa dikendalikan. Sampai-sampai hiruk-pikuk menggema menuju planet pluto. Tiba-tiba dia berkata “Tolonglah. Hargai teman di kelas sebelah yang sedang belajar!” kemudian aku tak melihatnya lagi. Dia seperti Jin yang keluar dari lampu yang di gosok oleh Aladin. Ketika aku membalikkan badan, dia sudah duduk lagi menjadi seorang filosof.

Bel kembali meraung menyuruh seluruh makhluk yang ada dibangunkan pemampung ilmu itu kembali ke sarangnya masing-masing. Aku pulang dengan sahabat karibku, Diana. Setiap detik perjalanan pulang aku memikirkan perkataan ketua kelas kami tadi. Ternyata kata-kata sederhana itu mengandung makna besar. Aku baru menyadari arti menghargai waktu dan perkataan orang lain. Mungkin perilakuku selama ini sedikit salah sampai-sampai beberapa orang teman di kelas sebelah mengatakan bahwa anak kelas kami banyak yang sombong ya mungkin itu termasuk aku. Perkataan Diana yang serius itu tidak aku denarkan. Pikiranku seperti melayang dan hanyut di bawa angn menuju kesadaran. Kerikil-kerikil tajam yang kulewati seperti mengerti maksudku sekarang. Dan ilalang pun berbisik mencoba mengatakan sesuatu untuk lebih menyakinkan diriku. Sejenak pikiranku berkata, “inikah yang dinamakan panutan?” ***

Nurul Hidayu,

Cahaya Ramadan

Matahari sore ini tampak bersembunyi di balik awan putih. Angin bertiup sepoi-sepoi menyejukkan kulit. Aku sedang menyusun cendol, rumput laut, potongan kecil nanas dan papaya, juga agar-agar dan cincau ke masing-masing toples. Tak lupa air gula dan santan. Yah, ini hari pertamaku berjualan di pasar kaget Ramadan, pasar yang menjual aneka makanan untuk berbuka, sejak seminggu yang lalu puasa. Berkat anjuran Dik Retno, perempuan anggun berjilbab yang tinggal di sebelah rumah kontrakanku. Usianya terpaut beberapa tahun di bawahku. Tetapi dialah satu-satunya perempuan yang aku bisa jadikan tempat curahan hatiku.

Bermula di suatu pagi ketika aku sedang menjemur pakaian. Seperti biasa kami hanya berbasa-basi saling menanyakan nama dan profesi, hingga kemudian Dik Retno sering main ke rumahku bersama anaknya yang masih satu, berumur 2 tahunan. Pada awalnya aku menganggap dia seperti wanita yang lainnya, yang katanya bisa menjaga rahasia tetapi ternyata rahasia itu sudah menjadi bahan gunjingan semua tetangga. Tetapi kata-katanya yang lembut dan penampilannya yang anggun, bahkan dia sama sekali tak pernah membicarakan satu tetangga pun dalam setiap percakapan kami.

Berbeda dengan teman-teman tetanggaku dulu, yang setiap acara ngerumpi selalu diawali dengan topik membahas masalah seseorang hingga menjadi bahan gunjingan dan ujung-ujungnya sudah menjadi rahasia umum. Dik Retno selalu menanyakan bagaimana salatku hari ini, tilawah Quranku, yang bahkan entah sejak kapan aku tidak pernah melaksanakannya lagi. Dik Retno selalu bercerita, betapa menyesalnya dia jika meninggalkan jadwal tilawah Quran yang hanya dua lembar setiap habis salat, atau salat malamnya yang tertinggal padahal mata sudah tebangun.

Meski pada awalnya aku sangat gerah dengan segala omongannya yang mirip-mirip ustadzah, namun aku kemudian terbiasa dan merasa bersyukur mempunyai tetangga seperti Dik Retno yang mau mengingatkan ke hal-hal yang baik. Hingga aku berani menceritakan kisah hidupku. Pada awalnya Dik Retno terkejut, tetapi dengan lembut dia menyemangatiku untuk bisa berubah dan bertahan hidup. Dengan uang pinjaman sejumlah Rp100 dari Dik Retno-lah aku berani mencoba berjualan es rumput laut di pasar Ramadan ini. Meski aku punya sejumlah uang sisa dari kerjaku yang dulu, tetapi aku mencoba memulai usaha ini dengan uang halal. Seperti kata Dik Retno. Yang entah dari mana aku selalu tersihir dengan kata-katanya.

“Mbak, es rumput lautnya dua bungkus ya.” Kata seorang gadis muda mengagetkan lamunanku.
“Eh..iya..iya.”

Dengan cekatan aku segera membuatkan racikan es rumput laut. Setelah satu jam aku duduk sambil menunggu pembeli, baru gadis muda inilah pembeli pertama. Memang ternyata mengais rezeki yang halal itu harus mempunyai stok kesabaran yang tinggi, jika tidak ingin mengambil jalan pintas untuk mencari rezeki haram sepertiku dulu.

Aku mulai gelisah. Pembeli tidak juga menghampiri meja es rumput lautku. Ah, mungkin waktu berbuka masih lama. Namun terlihat mendung hitam sedang menggayut di langit. Angin yang berhembus sangat kuat mencoba mencabik-cabik terpal kokoh di atasku. Seperti pertanda bahwa langit sebentar lagi akan membasahi bumi. Ya Allah, berilah aku kesabaran. Eh aku menyebut nama Allah, setelah bertahun-tahun aku tak merasa mengenalnya. Meskipun aku selalu mempercayainya bahwa Dia ada.

Dan tumpahan jarum-jarum air yang menusuk bumi, seolah menghempaskan harapanku. Harapan agar es rumput lautku terjual. Namun bagaimana mungkin, di saat hujan turun dengan lebatnya begini akan ada orang yang mau menyuapkan es ke dalam mulutnya. Ya Allah, mudahkanlah rezeki halalku ini. Ternyata memulai sesuatu yang baik tidak semudah yang aku bayangkan dan aku harapkan.
“Mbak, es rumput lautnya 5 bungkus. Tapi tidak pakai es ya mbak,” kata seorang pemuda memberiku harapan.
Dengan cekatan aku segera membungkuskannya. Ah ternyata Allah lebih kuasa.

****

Aku masih duduk dilantai beralas tikar setelah membereskan sisa daganganku sore tadi. Hanya laku 15 bungkus, itu berarti Rp60 ribu aku dapat hari ini. Kulihat cendol, nenas, pepaya dan rumput laut masih lumayan banyak. Nanti aku coba titip menyimpan di kulkas Dik Retno. Jika tidak basi aku bisa menjualnya besok lagi. Tinggal membikin santan dan air gula.

Malam mulai beranjak. Masih terdengar dari masjid suara orang membaca ayat-ayat Alquran. Anak-anak berlarian di jalan depan rumah kontrakan, sambil sesekali terdengar suara bunyi petasan kemudian disambut dengan bunyi tawa mereka. Ah, Ramadan selalu ramai, ketika biasanya orang-orang sudah terlelap namun masih saja terdengar suara orang membaca Alquran dari masjid-masjid yang masih terdengar sayup-sayup. Aku sendiri tak tahu. Sudah berapa lama aku meninggalkan salat dan puasa. Mengisi Ramadan dengan Tarawih atau membaca Alquran. Namun apakah seseorang sepertiku ini yang hina, yang mau menjual tubuhnya demi segepok uang masih bisa mendapat ampunannya. Atau bagaimana mungkin jika aku selalu sujud memohon ampunannya, namun di malam harinya aku selalu mengulangi dosa besar yang sama? Itulah alasannya mengapa aku selalu mengurungkan niatku untuk melakukan salat.

Namun, Ramadan kali ini berbeda. Rasanya ada keinginan yang meletup-letup dari dalam hatiku untuk berubah menjadi manusia yang baik. Aku juga sudah terbebas dari perjanjian dengan mami yang menjadi bosku. Apalagi, kata Dik Retno, kasihan jika darah yang mengalir dalam tubuh anak kita berasal dari nafkah yang haram. Aku jadi teringat ke dua anakku yang selama ini memakan kiriman uangku. Ya Allah, ampunilah mereka yang tak berdosa. Tidak tahu apa-apa.

****

“Mbok, bagaimana kalau Tini ikut kerja jadi TKI seperti Warni dan Denok itu?” kataku pada suatu malam pada ibuku. Setelah dua tahun berlalu sejak Mas Narto tidak ada kabar berita sedikitpun kepada kami. Mas Narto yang mencoba mengais rezeki pergi ke Jakarta, setelah panen di desaku gagal total karena diserang hama. Aku mulai putus asa dengan keadaan keluargaku yang bahkan untuk membeli seliter beras saja sangat kewalahan. Aku miris dengan keadaan anakku, hidup serba kekurangan dan kurang gizi. Namun apa yang bisa aku lakukan di desa miskin ini yang bahkan jika di musim kemarau tanah-tanah kami retak-retak karena kekeringan..
“Kita ndak punya uang Tin untuk membiayaimu pergi jauh itu,” jawab si Mbok kemudian.

“Nggak usah dipikirin soal biaya itu, mbok. Kemarin ada yang menawarkan gratis. Bisa dicicil dengan potong gaji jika nanti aku sudah bekerja, mbok”.
“Tapi bagaimana dengan anak-anakmu, Tin? apa kamu tega meninggalkan mereka? Apa kamu yakin bahwa orang itu tidak menipu kamu?”
Aku hanya bisa terdiam. Memang berat meninggalkan anak-anakku yang saat itu masih berumur 4 dan 3 tahun. Tapi bagaimana dengan masa depan mereka, sekolah dan makan mereka?

“Apa tidak lebih baik jika kamu mencari kerja di sini saja tho, Tin?”.
Namun akhirnya aku bisa meyakinkan si Mbok, bahwa dengan waktu 2 tahun aku bisa mengumpulkan uang banyak dan bisa membuka usaha di kampung miskin ini seperti Warni dan Denok yang sekarang, rumahnya paling megah di antara penduduk kampung kami.
Namun ternyata firasat si Mbok itu benar. Ternyata orang yang mau menyalurkan aku menjadi TKI justru menjual aku ke seorang germo di pulau Sumatera. Aku tak bisa berbuat apa-apa meski pada awalnya aku menangis dan tersiksa, karena aku tak bisa melarikan diri. Bodyguard-bodyguard lokalisasi itu selalu siap beraksi jika ada yang berani bertingkah macam-macam. Apalagi aku teringat dengan anak-anakku dan si Mbok. Saat itu pikiranku pun buntu. Dan akhirnya aku semakin tersesat di jalan itu.
Dan aku tak tahu apakah ini kehendak yang kuasa, ketika lokalisasi tempat aku bekerja dibakar oleh masyarakat sekitarnya. Sedikit aku lega karena terlepas dari perjanjian dengan mami, bosku, meski aku harus kehilangan pekerjaan hinaku. Dan Tuhan akhirnya membawaku ke Kota Bertuah dan mempertemukanku dengan Dik Retno yang sedikit banyak sudah mengingatkanku.

****

“Bagaimana Mbak jualannya?” tanya Dik Retno ketika aku menitipkan sisa daganganku agar disimpan di dalam kulkasnya.
“Ehmmm…lumayan, Dik, laku 15 bungkus,” jawabku lirih.
“Mbak, ternyata Ramadan sudah setengah bulan berlalu ya, cepat sekali. Semoga tahun depan kita bisa bertemu lagi dengan Ramadan,” kata Dik Retno bersemangat.

Aku hanya mengangguk dan berpamitan pulang. Sesampai di kamar kubuka lemari plastikku. Terlihat di sana mukena yang terlipat rapi karena sudah bertahun-tahun tak kusentuh. Kuambil mukena itu sambil mengucapkan bismillah, untuk memulainya kembali.
Suara orang mengaji di masjid masih terdengar sayup-sayup seakan menemaniku mencari cahaya di bulan Ramadan tahun ini. Ya Allah, ampuni aku…

****

Cerpen Tentang Ramadhan ini oleh:
Sri Nurwidayati,

Memandang Bulan

Bulan itu memancar dengan warna keemasan. Aku tertegun menatapnya. Sungguh mempesona. Malam yang kelam menjadi indah dan menggairahkan. Samar-samar kulihat seorang gadis di bulan itu. Ah, ternyata dia kekasihku. Aku tersenyum memandangnya yang terlihat tengah asyik melenggak-lenggokkan tubuh eloknya di bulan itu. Matanya yang bening menatapku lekat. Jemarinya yang lentik melambai-lambai ke arahku dengan kerincing gelang-gelang mutiara.

“Johan, kenapa melamun saja?” tiba-tiba seorang gadis menegurku.
Aku menoleh menatapnya. Aku heran. Entah dari mana datangnya dia. Tahu-tahu dia telah berada di sampingku.
“Kamu siapa?” tanyaku takjub. Gadis ini sungguh rupawan. Lebih cantik dari kekasihku yang tadi kulihat sedang menari-nari di bulan.

“Hei, kamu kenapa, Johan? Kamu seperti orang linglung?” mata gadis itu menatapku dengan heran. Aku makin terpesona menatap mata indah berbulu lentik itu.

“Linglung? Oh, sungguh aku tidak pernah mengenalmu sebelumnya…” mataku tak berkedip memandang wajahnya. Pipinya tampak memerah.
“Aku Salma!”

“Salma?” sekarang aku benar-benar seperti orang linglung.
“Ya, aku Salma! Kamu terkena amnesia, ya?! Aku ini kekasihmu!” gadis bernama Salma itu mulai kesal.
“Kekasihku? Ah, seingatku, kekasihku bernama Amelia, bukan Salma.”
“Johan, Johan…” gadis itu tertawa kecil sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. “Amelia itu juga namaku begok! Tepatnya nama belakangku, Salma Amelia! Apa kamu sudah lupa?”
“Salma Amelia?”
“Ya, Salma Amelia!”

“Nama kekasihku Amelia Dewi, bukan Salma Amelia!”
“Amelia Dewi? Hah, siapa dia?! Siapa?! Kau selingkuh ya…!” mata indah itu membulat. Terlihat sekali betapa marahnya dia, namun bagiku mata itu makin mempesona saja.
“Aku tidak pernah selingkuh!”
“Lalu siapa Salma Amelia itu?”

“Coba kau lihat bulan itu,” ujarku menunjuk langit.
Gadis itu mendongakkan wajahnya, menuruti kemauanku. Mungkin dia juga penasaran.
“Apakah kau melihat seorang gadis di bulan itu?”
Gadis di sampingku menatapku heran, lantas berkata, “Kau memang sudah gila! Lebih baik aku pergi saja!” gadis itu melangkah pergi.
“Hei, kamu mau ke mana?” aku berusaha mencegahnya.
“Besok kalau kau sudah ke psikiater, baru kau boleh temui aku lagi!”

***

Malam berikutnya aku kembali memandang bulan. Semalam bulan itu berwarna keemasan. Tapi hari ini warna bulan itu berubah menjadi ungu. Baru kali ini aku melihat bulan berwarna ungu. Samar-samar masih kulihat kekasihku tengah menari-nari dengan kerincing gelang-gelang di tangannya. Terkadang dia berputar-putar mengembangkan gaun suteranya seperti penari India.

“Kau melamun saja?” terdengar seorang gadis menegurku.
Aku menoleh, dia bukan kekasihku, bukan juga gadis yang menemuiku semalam yang mengaku-ngaku sebagai kekasihku. Tapi dia juga cantik. Bibirnya yang merah tampak mengkilat diterpa cahaya rembulan. Matanya indah dengan alis yang melengkung seperti lengkungan pelangi yang menghiasi langit kala hujan gerimis di sore hari.
“Kau siapa?” tanyaku.

Gadis itu tertawa, “Tidak biasanya kamu bercanda seperti ini?…”
“Bercanda? Aku tidak bercanda! Aku memang belum pernah melihatmu sebelumnya…”
“Benarkah kamu tak mengenaliku?!” mata gadis itu membulat.
Aku mengangguk dengan yakin.

“Lalu cincin ini pemberian siapa?” gadis itu memerlihatkan cicin perak di jari manisnya.
Aku mengendikkan bahu.
“Sudahlah, Johan! Hentikan sandiwaramu itu!”
“Hei, sandiwara apa? Aku memang tidak pernah mengenalmu!”
“Huh, lebih baik aku pergi saja!”
“Woi, kamu mau pergi ke mana?”

Gadis itu tak menoleh. Terus saja melangkah tanpa menghiraukanku lagi.

***

Masalah. Hari ini aku tertimpa masalah berat. Pekatnya mendung memang tak bersahabat tadi malam. Tidak seperti malam-malam sebelumnya. Begitu cerah. Aku tak bisa melihat bulan semalam, pun kekasihku yang selalu setia menemaniku tiap malam, menghiburku dengan tarian Indianya yang gemulai.
Tapi itu bukan masalah berat yang kumaksud.

Hari ini aku tak bisa pulang. Bahkan tak tahu jalan pulang. Aku membutuhkan pertolongan. Tapi siapa yang bisa menolongku? Setiap orang yang kuminta pertolongan selalu acuh padaku. Mereka tak ada yang mau mengantarku pulang. Mereka semua egois!

“Johan? Lagi ngapain di sini?” seseorang menyapaku ramah.
“Tika?” mataku berbinar-binar melihat teman sekampusku itu telah berdiri di hadapanku. “Syukurlah kamu datang ke mari.”

“Memangnya ada apa?”
“Aku butuh pertolongnmu. Aku… aku lupa jalan pulang ke rumahku.”
“Ha ha… ada-ada saja kau ini Johan!” dia tertawa.
“Tapi aku sungguh-sungguh tak ingat jalan pulang!”
“Baiklah, manti aku antar. Sekarang aku ingin ziarah ke makam ibuku dulu. Mau ikut?”
“Ibumu?”

“Ya. Ibuku telah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Hari ini hari ulang tahunnya, makanya aku ingin mendoakannya semoga ibu hidup bahagia di alam sana…”
“Amin…,” sahutku seraya melirik keranjang bunga yang dibawa Tika. Di dalam keranjang bunga itu terselip sehelai foto.

“Foto siapa itu?” tanyaku menunjuk ke dalam keranjang bunga.
Tika meraih foto itu, “Ini foto ibuku sewaktu dia masih gadis dulu.”
Aku meraih foto itu lalu memandanginya lekat-lekat. Seketika mataku terbelalak. Wanita dalam foto ini benar-benar mirip dengan gadis yang menemuiku dua hari lalu saat aku memandang bulan. Apakah ini nyata? Aku menggosok-gosok mataku tak percaya.

“Oya, akhir-akhir ini kamu sering menyendiri dan senang sekali memandang bulan purnama pada malam hari?” Tika mengalihkan perhatianku menatap foto itu.
Aku diam saja. Tak menyahut apa-apa.

“Apakah kamu belum bisa melepas kepergian Amelia, gadis keturunan India itu?”
“Dia belum meninggal, Tika! Semalam aku melihatnya tengah menari di bulan!”
“Johan, kamu tak boleh seperti ini. Masih banyak gadis lain yang mau menerima cintamu dengan tulus…”
“Tika, kau harus percaya aku! Amelia masih hidup. Sekarang antarkan aku pulang! Aku ingin memberitahu ibuku bahwa Amelia masih hidup!”

Tiba-tiba langkah kami terhenti. Di hadapan kami tergeletak sesosok mayat dengan tubuh berlumur darah. Sepertinya korban tabrak lari.
Aku dan Tika melangkah mendekati mayat itu lalu mengenali wajahnya. Betapa terperanjatnya aku, tubuh berlumur darah itu adalah diriku sendiri! Tidak, tidak mungkin!

“Johan, ayo ikut kami…” terdengar panggilan beberapa wanita di telingaku. Saat aku menoleh, kulihat Amelia, Salma dan gadis yang mengenakan cicin perak semalam melambai ke arahku. Anehnya pakaian mereka semua berwarna putih.

Saat aku menundukkan wajah, kulihat pakaianku juga telah berubah putih…***

Johan Fernando,

Sebait Puisi Kala Desember

Pagi ini tak seperti pagi-pagi kemarin. Matahari sudah tak enggan lagi bersinar dengan kecerahan yang sempurna. Sudah tak ada lagi awan hitam yang menyembunyikannya. Yang ada justru awan-awan putih seperti kapas yang bergerak lamban ditiup angin sepoi. Dengan background langit biru.

Burung-burung pun seolah ikut berperan. Suara-suara cicit yang terdengar bukannya membuat berisik melainkan seperti melodi yang akan menjadi pembuka kisah hari ini. Ia terbang kesana-kemari, bertengger dari satu pohon besar ke pohon besar lainnya. Saling menyenandungkan lagu yang hanya mereka yang mengerti artinya. Merekalah satu-satunya yang membuat tempat ini tak benar-benar sepi.

Semangatku pun lahir dengan hadirnya pagi yang penuh warna ini. Setelah kemarin aku merasa sendiri, kesepian. Gara-gara hujan tak berhenti turun selama satu minggu, tak ada satu orang pun yang datang ke tempatku. Aku memang sudah hampir satu bulan tinggal di sini. Jadi setiap hari aku selalu berharap ada orang yang mau datang ke rumah baruku, tak diajak mengobrol pun tak apa, mereka sudah datang melihatku saja aku sudah senang.

Awalnya aku tidak tinggal di sini. Aku tinggal di sebuah rumah kos bersama beberapa teman yang kuliah di universitas yang sama denganku. Kami semuanya berjumlah dua puluh orang. Bayangkan betapa ributnya rumah yang ditinggali dua puluh wanita yang dikenal sebagai makhluk yang rumit. Setiap hari setiap orang membawa masalah yang berbeda-beda. Mulai dari soal cinta, tumpukan tugas-tugas dari kampus, sampai masalah kewanitaan. Tak ada lagi yang dirahasiakan.

Aku rindu dengan semua itu. Saling berbagi dan kadang-kadang saling marah seperti anak kecil berkelahi. Apalagi aku dikenal sebagai orang yang tak bisa diam, hiperaktif, kata mereka.

Maka ketika harus berpisah dari mereka dan tinggal sendiri, tanpa siapa-siapa, membuat aku menangis setiap malam. Semoga saja tak ada yang mendengar suara tangisanku. Sebenarnya aku juga tak mau hidup seperti ini, sebatang kara seperti tak punya siapa-siapa. Tapi apa mau dikata, jalan hidup masing-masing orang sudah ada yang mengatur. Aku tak bisa apa-apa.

Ah, kenapa aku seperti menyalahkan takdir. Seharusnya aku yakin bahwa Tuhan memiliki maksud di setiap rencana-NYA. Dia juga pastilah memiliki suatu rencana dengan menempatkan aku di sini. Dia jauh lebih tahu apa yang terbaik buatku melebihi diriku sendiri.
Seperti pagi ini, aku yakin pasti akan ada orang yang datang mendatangiku. Kalau tidak mengapa dia membiarkan matahari bersinar di bulan musim penghujan, Desember. Suatu hal yang tidak biasa. Ketika pikiranku tengah asyik melayang-layang dari teman-teman kos, rumah baruku, sampai takdir Tuhan, tiba-tiba saja satu keajaiban datang.

Sebuah mobil berhenti di depan. Aku berusaha menajamkan penglihatanku demi apa yang sekarang aku saksikan. Dua sosok, seorang pria dan seorangnya lagi wanita, turun dari kendaraan yang baru saja membawa mereka ke sini. Aku biarkan mereka berjalan mendekatiku.
Semakin dekat aku mampu mengenali keduanya. Yang perempuan, Mela, dia bukan saja teman satu kosku dulu tapi dia juga teman satu kampusku. Maka jadilah kami bersahabat. Dia tahu semua tentang diriku, begitu juga aku tahu semua tentang dirinya. Tak ada yang kami rahasiakan. Sama-sama tinggal jauh dari keluarga membuat kami seperti kakak-adik.

Dan laki-laki yang bersamanya adalah Kokoh. Tapi dia tak seperti namanya, tak sekuat namanya. Apalagi setelah berpisah denganku. Tepatnya aku yang meminta kami untuk berpisah. Ia tak bisa menerimanya dan meminta alasan mengapa aku lakukan itu. Aku bilang tak tahu, ia tak percaya. Padahal aku memang benar-benar tak tahu. Aku sendiri tak bisa mengenali perasaan apa waktu itu yang membuat aku yakin untuk memutuskan hubungan kami. Hubungan yang bahkan sudah hampir menuju ke arah pernikahan.
Mereka berdua tepat berdiri di depanku, lalu tanpa kupersilahkan mereka serentak berjongkok. Aku sudah berniat untuk berhenti menangis tapi aku tahu kali ini akan gagal.

Aku yakin, pasti Mela yang membawanya ke sini. Pasti Kokoh yang memaksa sahabatku itu untuk menunjukkan tempat baruku. Aku sengaja meminta Mela untuk jangan menginformasikan apapun perihal hidupku kepada Kokoh. Biarlah cerita perpisahan kami menjadi akhir atas segalanya. Jangan ada lagi lanjutannya, Kokoh sudah cukup tersakiti. Aku tak mau menambah sakitnya jika ia tahu yang sebenarnya. Tapi sahabatku itu tak akan sanggup membiarkan seorang pria menangis di hadapannya. Kokoh, bahkan aku lebih kuat darinya.

Dan drama pagi ini benar-benar dimulainya dengan isakan dengan kepala yang tertunduk dalam. Mela ikut me-nangis. Aku memohon supaya mereka jangan menangis. Sia-sia, tak ada seorangpun yang bisa mendengar suaraku. Aku pun ikut menangis. Aku juga terluka dengan perpisahan ini. Bahkan lebih terluka dari luka yang mereka punya.

Aku tidak saja harus berpisah dengannya dan teman-teman yang lain, tapi juga orang tuaku. Parahnya aku juga harus berpisah dengan dunia-tempat di mana selama ini aku ada.

Isakan itu mulai berhenti namun tak menghentikan isakanku kare-na kalimat yang diucapkannya membuat aku ingin hidup kembali. Mustahil akan terjadi.

“Aku masih mencintaimu, Bidadariku. Bagaimana denganmu?” Dadaku bertambah sesak, seharusnya dia tak menanyakan itu. Dia pasti tahu jawabanku sekarang. Aku masih sangat mencintainya.
Mela mengerti itu. Ia sentuh pundak Kokoh, dengan isakan yang semakin kuat, ia mengatakan, “Jangan menanyakan itu, Ko. Fara akan sedih mendengarnya.”

Seolah-olah tak menghiraukan apa yang dikatakan Mela, Kokoh melanjutkan kalimatnya, “Maaf, Bidadariku, aku membiarkanmu menanggung rasa sakit sendirian. Aku telah menyalahkanmu padahal aku tak tahu apa-apa tentangmu.”
Aku memang tak memberitahu Kokoh tentang penyakitku. Penyakit yang menurut para dokter akan mengambil jatah hidupku dengan sangat cepat. Aku mencela mereka saat itu, tahu apa manusia tentang ajal.

Lama-kelamaan penyakit itu seperti mengambil semua ketahanan tubuhku. Aku jadi ikut membenarkan diagnosa para dokter bahwa aku takkan bisa bertahan hidup lebih lama. Aku sangat sedih tapi aku tak mau membuat orang lain menjadi sedih dengan keadaanku. Pikiran itu yang membuat aku memutuskan untuk merahasiakannya sendirian.

Akhirnya aku putuskan hubunganku dengan Kokoh secara sepihak. Sekarang aku baru tahu mengapa aku melakukannya. Aku ingin membuat Kokoh siap atas kepergianku nanti. Membiarkan ia manjalani hari-harinya tanpa aku lagi. Biar jika ketiadaanku yang sebenarnya datang, dia sudah terbiasa. Firasatku akan datangnya kematian memang sangat kuat saat itu.

Dan itu sama sekali tak salah. Satu bulan setelah kami berpisah aku dijemput malaikat bersayap dari langit. Kokoh sama sekali tak tahu berita kematianku. Ia sedang berada di luar kota untuk menyelesaikan proyek kantornya. Tak ada satu pun yang memberita-hunya karena orang-orang menganggap apa yang terjadi padaku sudah tak penting lagi untuk diketahui oleh Kokoh.

Kematianku begitu mudah, begitu indah. Mungkin karena aku telah bersiap-siap akan itu.
Tengah hari, matahari kini tepat berada di atas kepala. Mereka berdua pasti sangat kepanasan. Setelah membacakan doa untukku, Kokoh mencium nisan bertuliskan:
ELFARA binti ARYO DIMA
Lahir
08 April 1989
Wafat
30 November 2009

Secarik kertas bertuliskan puisi diletakkannya di atas gundukan tanah-rumah baruku- dengan serakan bunga-bunga yang baru mereka taburkan. Kokoh tahu aku sangat menyukai puisi.

Kemudian mereka berbalik meninggalkan pemakaman ini. Aku memandangi keduanya, maafkan aku meninggalkan kalian lebih dulu, bisik hatiku.

Setelah benar-benar hilang dari pandanganku, barulah aku membaca puisinya.
Untuk bidadariku yang telah
Pergi
Tak tahu aku
Apa akan ada lagi yang seperti kamu
Biar aku tenggelam dalam waktu
Menantinya akan menjemputku
Seperti dia menjemputmu
Aku rela
Percayalah, aku rela
Aku tersenyum, senang mengetahui isi puisi itu. Kokoh memang bukan laki-laki yang kuat tapi dia mampu untuk ikhlas.

——————————————————

Erma

Antara Aku dan Bintang

cerpen-antara-aku-dan-bintaAku sudah lama mengenal Bintang, lama sekali, sejak SMP, eh SD, ah atau mungkin sejak aku lahir, karena Bintang selalu ada untukku, selalu menemani aku, tempat aku mengadu, tertawa bersama bahkan saat aku ada masalah Bintang-lah yang pertama kali tahu.

Hingga suatu hari Bintang harus pergi, dia lulus SMPTN dengan angka luar biasa. Itulah yang aku kagumi dari Bintang. Dia pintar, cakep dan selalu perhatian, dan dia tak pernah bisa melihatku menangis. Dia telah menjadi bagian hidupku. Mulanya aku senang karena Bintang berhasil lolos di Fakultas Psikologi yang sangat diimpikannya. Tapi aku terpana ketika tahu universitas mana yang berhasil dimasukinya.

“Mengapa harus jauh-jauh di Pekanbaru? Mengapa tak di sini saja, apa sih kurangnya Jogja buat kamu?” Kutatap matanya yang terus saja memancarkan girang.

“Witri, di manapun tempat kuliah itu sama saja! Jogja, Pekanbaru. Tinggal kita nya aja kok….” Jawabnya.
“Tapi….”

“Percayalah, aku baik-baik saja di sana!” Potongnya
Kupejamkan mataku, mungkin kamu akan baik-baik saja tapi aku? Apa aku bisa terus di sini tanpa kamu? bisik hatiku.
“Sampai di sana kamu pasti akan melupakanku….” Air mata ini tak sanggup kubendung lagi, aku bahkan terisak isak, Bintang hanya tersenyum. Ia menarikku dalam pelukannya aku menangis di bahunya.

“Tak akan pernah Witri! Mana mungkin aku bisa melupakan anak manja dan cengeng sepertimu….”
Kutinju bahunya aku meronta dari pelukannya,dan berlari menjauh darinya. “Ingat Bintang! Aku bukan anak kecil lagi “ Jeritku

Dia tertawa dan terus mengejarku, selalu saja begitu. Kami sudah sangat dekat, dekat sekali, sementara senja bergulir perlahan, tempiasan sinarnya memantul di permukaan telaga. Liburan kali ini seperti juga liburan kemarin selalu saja dihabiskan di tempat ini, di Telaga Sarangan, tapi kami tak pernah bosan. Bahkan ketika liburan tahun sebelumnya Romo mengajakku ke Rotterdam mengunjungi Oom Peter, Aku sedih sekali tak bisa ke Sarangan bersama Bintang.

“Jangan menangis gitu dong, Witri! Jogja-Pekanbaru itu nggak jauh kok, aku kan bisa telpon kamu. Ayo se-nyum! Masa jagoan cengeng…” Ejek Bintang ketika aku mengantar kepergiannya di Bandara.

Aku mencoba tersenyum, kamu nggak tahu Bintang, Meskipun aku bisa telpon kamu seharian pun tetap beda kalau kamu tak ada di dekatku, kamu nggak bisa temani aku ke Perpustakaan lagi, jalan-jalan ke Malioboro, ke Alun alun atau ke Sarangan, nggak bisa lagi!

***

Satu tahun terakhir Bintang mulai jarang menghubungiku, ketika kutanyakan dia hanya menjawab “sibuk.” Sibuk berorganisasi-lah, sibuk kuliah, dan segala macam alasannya. Aku maklum, aku percaya Bintang tak pernah bohong padaku.

Dua tahun di awal, Bintang tak pernah menghubungiku lagi. Telpon kost-nya ketika kuhubungi diangkat temannya, dan dari temannya kutahu Bintang sudah pindah. Handphone-nya tak pernah aktif. Lalu kutulis surat lewat email, lama sekali baru dibalas.

“Dear Witri…
Maaf baru ku balas email kamu, aku sangat sibuk Wit, semester depan aku PKL, setelah itu aku KKN, Witri belajar yang rajin, sebentar lagi UN khan? Moga-moga lulus. Lam sukses…
Setelah itu Bintang tak pernah lagi membalas emailku, berkali-kali aku meminta alamat barunya atau nomer handphonenya tapi Bintang tak pernah membalas emailku.

Hari-hari menjelang UN makin dekat, sejenak Bintang terlupakan, sebagai gantinya tiap malam sebelum tidur aku memandangi bintang-bintang di langit, menumpahkan semua sedih, perih dan juga rindu. Aku selalu berharap bintang-bintang itu menyampaikan keluh kesahku pada Bintangku yang selalu saja sibuk.
“Mungkin kamu mencintai Bintang, Wit. Mengapa kamu nggak pernah jujur padanya…” ucap Luna suatu hari, satu-satunya orang yang dekat denganku setelah kepergian Bintang.
“Entahlah Luna, aku nggak tahu…” jawabku datar.

“Kamu membohongi diri sendiri kalau bilang nggak cinta sama Bintang!” lanjut Luna.
Kubiarkan semua ucapan Luna mengambang di kesejukan senja. Seperti tak percaya aku datang ke Sarangan bersama Luna, bukan bersama Bintang! Cepat kubuang jauh semua anganku tentang Bintang. Bintang sudah melupakanku. Ternyata apa yang pernah kutakutkan dulu terjadi juga. Pelan kugoreskan pena di atas diary kecil yang selalu kubawa ke mana-mana.

Seruling bambu
Merdu walaupun sendu
Menyentuh daun-daun waru
Menyentuh celah-selah kalbu
Telaga Sarangan menyimpan misteri
Sampai kini tak kumengerti
Senja makin kelabu. Kutinggalkan Sarangan dengan berbagi macam kecamuk di kepala, benarkah Bintang telah melupakanku? Mengapa?

***

Hasil kerja kerasku selama hampir dua tahun penuh tak sia-sia, aku lulus UN dengan nilai menakjubkan. Romo dan Ibu bangga padaku, semua mengucapkan selamat padaku, bahkan Oom Peter menawariku kuliah di negerinya. Tapi aku menolak, sama halnya ketika aku ditawari beasiswa di berbagai PTN atau New Orleans, (untuk tawaran yang satu ini aku tak pernah memberitahu Romo dan Ibu, karena aku yakin beliau pasti marah jika tahu aku menolak beasiswa dari sebuah Universitas ternama di New Orleans.) Sebenarnya ini kesempatan langka, tapi aku sudah punya rencana sendiri,dan saat kuutarakan pada Romo aku membuat beliau marah dan kecewa.

“Apa!! Pekanbaru? Lebih baik kamu masuk UI saja!“ kata Romo
“Tapi Romo, Witri ingin mencoba hal baru, Witri ingin hidup mandiri tanpa Romo dan Ibu, saya pikir Pekanbaru tempat yang bagus…” hampir menangis aku meyakinkan Romo. Dan Romo pun akhirnya luluh.

Begitulah kutinggalkan Romo dan Ibu, aku ingin mengejar mimpiku, aku ingin mencari Bintang. Pekanbaru adalah hal baru bagiku tapi aku yakin akan menemukan Bintang dan bisa bersama-sama dengan Bintang lagi. Aku tinggal di sebuah apartemen kecil, bersama dengan beberapa mahasiswa dari berbagai kota dan daerah. Akhir-akhir ini aku dekat dengan seorang mahasiswi sebuah Universitas Negeri asal Medan, kak Tria.

“Nda, kenapa sih kamarmu penuh dengan segala macam benda dan hiasan bintang? kamu suka sama bintang?“ tanyanya suatu hari.

Aku memandang semua barang-barang itu, mulai dari bantal yang berbentuk bintang, stiker-stiker bintang, jam berbentuk bintang, selimut dan sprei yang bergambar bintang, handuk dengan motif bintang, gantungan kunci, mang-kuk berbentuk bintang dan gelas dengan hiasan bintang, dinding bercat dengan gambar bintang, buku, kotak sabun, kotak pensil, lemari semua penuh dengan segala macam tentang bintang.

“Aku terobsesi dengan bintang, kak. Aku ingin selalu dekat dengannya dan ingin memilikinya, karena dia adalah hal paling indah yang pernah kulihat…“

“Kakak juga suka Bintang, Nda, karena dia adalah satu-satunya orang yang paling kakak cintai…“ kak Tria memandangku penuh senyum

“Orang? Maksud kakak? Kakak kenal Bintang?“ tanyaku.
“Ya, nanti malam dia ke sini, kakak mau kenalkan dia sama kamu…“ Ucap Kak Tria sebelum berlalu dari depan kamarku.Aku terlolong mendengarnya, Bintang? Bintangkukah…

***

Aku memandang mereka dari kejauhan, kak Tria bergandengan dengan seseorang, dan rasanya aku sangat mengenalnya.

“Nda, ini Bintang, pacar kakak. Bintang, ini Nanda, adik yang tinggal serumah denganku…“ Kak Tria memamerkan senyum lesung pipitnya.

Aku tak mampu mengulurkan tangan, tubuhku beku, aku ingin memeluknya, menumpahkan semua rindu yang ada, tapi tak bisa, ada kak Tria yang memegang lengannya erat.

“Witri…apa kabar? Tak menyangka bisa bertemu lagi denganmu…“ ucap Bintang. Aku tersenyum kecut. Kamu jahat, Bintang! Kamu melupakan aku, dan sekarang tak ada sedikit pun ucapan maafku untukmu, umpatku dalam hati.
Aku tak sanggup menahan pera-saanku, hati ini rasanya mau meledak. Aku pergi dari hadapan mereka yang menatapku dengan tak mengerti, aku menuju kamarku, kubanting pintu dengan keras hingga terdengar sampai ke beranda tempat mereka duduk berdua.

Namaku Witri Ananda, seorang gadis bodoh yang menyia-nyiakan waktunya untuk hal yang tak pasti, mengharap seseorang tanpa mau mengakui perasa-annya sendiri. Uh… Bintang takkan pernah tahu perasaanku, dia pasti menganggapku hanya sebagai teman atau adiknya karena aku tak pernah berani jujur padanya tentang semua ini. Aku kecewa dengan pertemuanku dengan Bintang. Aku sedih, Bintang telah menjadi milik orang lain. Tapi biarlah aku mengabadikan hadirmu melalui bentuk-bentuk abstrakmu, Bintang. Biarkan aku mencintaimu dari jauh, hingga perlahan rasa itu reda.

***

Asrul Rahmawati,

Francis dan Kucing-kucing Kecil

cerpen-francisIA menggigil menatap jalan. Jaket berornamen bulu dombanya telah basah kuyup dari tadi, ketika hujan turun dengan derasnya. Jalan telihat lengang, sesekali sorot lampu mobil menyilaukan pandangannya di antara tempias air yang berjatuhan. Dan lambaian tangannya benar sia-sia saja, tak ada tumpangan untuk malam ini. Laki-laki itu mengibaskan jaketnya hingga bulir-bulir air jatuh berderai ke lantai di sepanjang emperan toko yang satu jam lalu telah ditutup oleh sang pemiliknya.

Ia menghembus napas, mencoba mencari kehangatan dari dirinya sendiri. Ia ingin pulang. Seseorang itu telah berjanji padanya untuk datang dua jam lalu, tapi ia tak kunjung tiba, seorang wanita yang ia kenal setahun silam, membawa hatinya pada satu harapan.

Laki-laki itu ingin pulang, secangkir susu panas beserta selimut hangat lebih menggiurkan ketimbang berdiri kaku di antara deras hujan malam ini. Rahangnya yang kokoh berubah kaku.

Petir kembali menyambar. Laki-laki itu makin bersedekap, mengatup tangannya dengan erat. Sebuah kantong plastik berisi tembakau pilihan di apitnya dalam jaket, hampir saja ia kehabisan stok tembakau yang diperlukan Ibunya. Janji tetaplah janji, ia pun tak tahan lagi, sudah kepalang basah, malam pun semakin larut. Laki laki dengan kumis tipis itu bergegas menerobos hujan yang kian deras.

***

“Apa yang mesti kulakukan, Mbak?” wanita bermata bening itu menangis di sudut tempat tidur, seorang lagi yang dipanggil dengan sebutan “mbak” itu sibuk mengoles lipstik di bibirnya.

“Jalani saja. Ayahmu sendiri yang mengantarkanmu ke sini lagi, kan?” Mbak itu berkerling manja, membuat wanita itu tambah bersedih. “Tak ada gunanya lari dari tempat ini, nikmatilah.”

“Aku berjanji pada sesorang. Aku mesti menemuinya,” wanita itu me-nyeka airmata
“Kau masih komunikasi dengan pria itu? Siapa? Oh ya Francis. Sudahlah, masa lalumu tak ada gunanya. Apa yang kau harapkan dari laki-laki seperti itu. Cepatlah berhias, ada yang akan membawamu malam ini. Madam rugi jika kau tak ada.”

Wanita itu masih terisak-isak hingga seseorang bertubuh gempal mendekatinya, dan melihatnya menangis.
“Aku takkan menyakitimu.”
“Tapi kau inginkan tubuhku? Sama saja!”

“Itu pasti,” kumis lelaki itu ber-gelombang, membuat wanita mual.
“Aku belum makan, bisakah kita makan di luar?” pinta wanita
“Baiklah, lebih baik kau ke apartemenku saja, di sini kurang nyaman.”

Begitu mudahnya lelaki itu mempercayai wanita yang baru lima menit di kenalnya tersebut, mereka melaju di jalanan yang basah karena hujan. Dan lelaki itu terus saja berceloteh, hingga tak mengerti apa yang akan terjadi beberapa saat kemudian.

Lelaki itu membanting stir dengan keras, pandangannya kabur saat sebuah balok kayu keci menghantam kepalanya dengan cepat.

Pekikan wanita menambah histeris keduanya, keberanian yang belum pernah ia lakukan seumur hidup demi janji pada seseorang. Sesaat kemudian ada yang terpental dari muka mobil, seseorang melewati pembatas jalan dan mobil pun menghantam tembok pagar. Hujan pun makin deras, tenggelam dalam pekat malam.
Tembakau pun berhamburan di muka jalan, baunya mengenang bercampur hujan.

***

Air menggelegak dari panci. Uapnya membuat gemerutuk panci berbunyi keras dan sang wanita paruh baya tersentak karenanya. Dia bergegas meraih gelas dan menuang air hangat itu ke dalamnya, “Francis pasti kedinginan” begitu fikirnya. Namun gelas yang berada di hadapannya itu seketika saja terburai, membuat tangannya melepuh. Wanita paruh baya itu meringis, gelas keramik takkan mudah pecah hanya karena air panas. Ini pasti ada firasat buruk, batinnya.

Jarum jam berdentang, wanita itu beralih ke ruang depan. Pukul 11.15 malam, sesekali ia menyibak gorden berharap seseorang itu akan pulang agar cemasnya hilang.

“Bagaimana Francis?” Desisnya. Baginya, Francis adalah harta yang ia miliki selain rumah yang tengah di tempatinya itu. Anak lelakinya yang berumur dua puluh lima tahun tepat lima hari lagi. Ia menyesal kini, karena tiga jam lalu memaksa Francis untuk membelikannya sekotak tembakau pilihan yang dijual khusus di pusat kota. Meski mobil bututnya tengah diperbaiki, Francis tak menolak juga pergi dengan angkutan umum. Francis patuh padanya, andai saja kecanduannya tak kambuh saat itu juga, mestinya Francis kini tengah terlelap bersama mimpi-mimpinya.
Wanita itu kesepian, hanya Francis dan kucing-kucing kecil itu yang menemaninya. Kini ia terus mendesak Francis untuk segera menikah, hingga ia merasakan kembali kehidupan itu. Keegoisan yang mutlak. Wanita itu menangis, menangisi malam-malam yang makin mempercepat detak jantungnya. Ia segera mengambil kotak dalam laci tempat tidurnya di kamar, lalu memasukkannya butir per butir ke dalam mulut. Di cengkeramnya sisi kasur dengan erat, lalu seteguk air sedikit melegakan ketegangan itu. Dan ketika itulah, Ia yakin bahwa Francis telah pulang, ada yang membuka pintu pagarnya.

Wanita itu menyibak gorden jendela, mencoba mengamati dari kaca yang berembun. Ia tersenyum tipis, “Francis !!” serunya. Dia datang bersama seseorang, seorang wanita. Francis menepati janjinya juga tembakau itu.

Wanita paruh baya bergegas me-raih mantelnya lalu membuka pintu depan. Kucing-kucingnya mengeong dan menggigiti ujung mantel, berusaha menahan wanita itu keluar rumah namun wanita itu terus saja melangkah. Angin berhembus kencang dan ia kehilangan bayangan anak lelakinya.

“Francis!! Masuklah, nak!” teriaknya dalam gemuruh hujan.

Wanita itu menuruni tangga dan menuju pagar depan, hanya ilusi ternyata. Francis tak pulang. Pintu pagar bergoyang-goyang akibat angin. Ia berdiri cukup lama di pagar, tangisnya pun pecah dan ia tetap menanti seseorang itu untuk pulang.

Petir kembali menyambar, wanita paruh baya itu terpeleset di tengah derasnya hujan. Sekujur tubuhnya basah bersama malam, ia terus sesenggukan tanpa tiada yang datang.
“Francis, kaukah itu nak?”

Wanita itu tiada daya lagi, tubuhnya terlentang di halaman. Pikirannya berkelebat akan bau tembakau yang me-nyelimuti penciumannya. Namun ia sempatkan terse-nyum ketika uluran tangan membuatnya terasa hangat. “Francis, kau pulang?”. Ia terus berbisik pelan dan semakin pelan dalam malam yang kian kelam.
“Francis…” batinnya.***

Desy Wahab

Sebuah Penantian (Untukmu Sobat)

Sepertinya cuaca pagi itu agak mendung, membuat semua aktivitas yang akan dilakukan menjadi kacau sedikit. Gemuruh petir terasa menggetarkan tanah jelas di relung hati setiap insan. Langit yang memerah terus mengeluarkan tetesan air dari perutnya, dari pagi hingga sore. Saat itu juga tampak seorang gadis berseragam SMA berteduh di halte bis sambil menunggu hujan reda, ia mengambil sebuah handphone Nokia di tasnya. Ditulisnya sebuah pesan singkat kepada seseorang. Tidak lama kemudian sebuah mobil Mercedes hitam mendekati gadis itu, terlihat seseorang berpakaian polos dan sederhana.

“Kenapa lama sekali, aku seperti di dalam kulkas karena kelamaan menantimu,” rengut gadis berseragam SMA itu.
“Maafkan aku Ima, kamu tahu sendiri ‘kan, Jakarta itu macet.”
“Sudah tahu Jakarta itu macet kenapa tidak pergi dari awal,” balas Ima lagi, ketus.
“Sudahlah Ma. Aku tadi ada kerjaan sedikit makanya aku telat.” Tara berusaha menenangkan Ima yang lagi kesal.
“Bisa kita pulang sekarang?” tanya Tara kepada sahabatnya.
“Kapan lagi. Tahun depan!” cetus Ima.

Tidak berapa lama kemudian mereka pun meluncur menembus hujan yang begitu deras. Sampai di rumah, Ima langsung mengganti pakaian tanpa terlebih dulu makan siang. Dia langsung menuju ke belakang rumahnya dan menuju ke sebuah lapangan basket. Diambilnya bola basket yang berada di bawah kursi. Lalu ia lempar hingga menembus keranjang basket. Hujan pun semakin lama semakin bersembunyi di balik awan. Kini tinggal tetes air kecil yang turun bergantian. Ima terduduk lelah dan terdiam di lapangan itu. Pikirannya kacau, bayangan Arjuna, sahabat kecilnya, bermain-main di benaknya. Seketika ia teringat akan kenangan manisnya bersama sahabat kecilnya itu. Tanpa ia sadari air matanya menetes seiring gerimis saat itu. Masa lalunya sangat pahit untuk diingat dan terlalu manis jika dilupakan.

Saat ia telah mengeluarkan air matanya, sebuah panggilan halus didengarnya sehingga ia sadar dari lamunannya.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya perempuan tua itu lembut.
Dia hanya diam. Bibirnya sulit mengeluarkan sepatah katapun. Tubuhnya kaku.

“Sudahlah Nak. Jangan kau terus menyiksa dirimu seperti ini. Nanti kau sakit,” lanjut perempuan tua itu sedih.
“Aku sudah terlanjur sakit, Bu. Hatiku sudah hancur seperti puing-puing yang tak tersisa lagi,” ratap Ima.
“Kau masih punya ibu, Nak. Ibu tidak akan membiarkan kau terus-terusan begitu,” balas ibunya dengan air mata yang berguguran.

***

Malam itu Ima tidak keluar dari kamarnya. Kata-kata Arjuna selalu terngiang di memorinya. Sebuah janji yang terucap dari mulut mungil laki-laki itu, selalu ia nantikan.

“Tiga hari lagi ulang tahunku. Aku tahu Arjuna pasti datang untuk menepati janjinya. Dia akan kembali untukku,” pikirnya sedih. Memang semenjak Arjuna pergi ia selalu murung.

Malam semakin larut. Angin-angin malam yang mengerikan terus menusuk pori-pori setiap orang yang menikmatinya. Suara jangkrik makin riang, tapi burung hantu berhenti menangis. Ima telah terlelap dalam tidur.
Pagi hari, gadis berkulit sawo matang itu berangkat ke sekolah. Tiba di sekolah, seorang gadis sebaya dengannya menghampiri. Seperti biasa Tara selalu menasehati Ima. Memberi penjelasan dan berusaha meyakinkan Ima tentang Arjuna. Baru saja Tara memulai pembicarannya, ia telah disemprot Ima yang masih jengkel.

“Aku sudah katakan! Arjuna itu masih hidup. Dia akan datang di hari ulang tahunku,” katanya yakin.
“Ima, kau jangan gila. Arjuna telah mati. Bencana itu telah merenggutnya. Kau harus menerima kenyataan ini,” kembali Tara menjelaskan.

“Terserah kamu berkata apa. Aku yakin dia pasti kembali. Itu janjinya!”
“Kau harus sadar Ma! Mana mungkin orang yang sudah mati hidup kembali,” jelas Tara dengan sedih.
“Tidak… sebelum aku melihat mayatnya aku tidak akan percaya,” Ima bersikeras menentang kata-kata Tara.
Tara pasrah. Tak tega lagi melihat sahabatnya itu terus-menerus menderita. Apa yang harus kulakukan Tuhan? Bukakan pintu hatinya. Yakinkan dia bahwa Arjuna telah tiada….

***

Hari itu adalah hari yang ditunggu-tunggu Ima. Sebelum acara ulang tahunnya dilaksanakan, ia telah mempersiapkan segala keperluan dengan baik. Kue telah ia hias secantik mungkin. Saat itu semua teman-temannya telah hadir dan acaranya akan segera dimulai. Tapi wajah Ima tampak cemas, gelisah. Ia mondar-mandir di depan pintu rumahnya. Seperti sedang menanti seseorang. Setengah jam berlalu. Tapi acaranya belum juga dimulai, karena teman-temannya telah lama menunggu, hampir membuat semuanya cemas. Tapi Ima tetap menanti seseorang, yaitu Arjuna.

Tara ikut gelisah. Dia panik! Apa yang harus dilakukan. Terpikir olehnya untuk membuka TV yang berada di sudut ruang tengah itu, dengan harapan agar teman-temannya tidak bosan menunggu. Tapi saat memencet remote TV, berita korban tsunami dan gempa susulan banyak memakan korban lagi. Tara segera memanggil Ima dan…

“Ini tidak mungkin Ra! Arjuna pasti tidak ada di situ.” Teriak Ima sedih ketika melihat tayangan itu.
Semua temannya terkejut dan menatapnya tajam dan penuh tanda tanya.

“Ini kenyataan Ma. Semua orang yang ada di Aceh, telah meninggal semua,” jelas Tara prihatin.
“Aku tidak percaya… Arjuna telah berjanji kepadaku dan aku akan me-nantinya,” ia kembali histeris.
“Ima kamu harus sabar! Aku yakin jika Arjuna melihat kamu begini, ia pasti sedih. Lebih baik kamu mendoakannya.”
“Tidaaak!!!”

Ia lari meninggalkan acaranya. Air matanya satu per satu membasahi pipinya. Langkahnya semakin lama semakin pelan dan terhenti. Nafasnya berburu kencang. Jantungnya berdetak cepat. Sepertinya ia merasa telah jauh alam yang tengah ia rasakan sekarang.

Ia terduduk lemah memandang langit yang kelam. Isak tangisnya terus berjalan. Dalam menangis sesosok bayangan putih melintas di depannya. Ia tersentak, mulutnya spontan mengucap nama Arjuna dengan gemetar.
Bayangan itu makin lama makin jauh. Tersenyum manis kepada Ima. Meninggalkannya dalam kesendirian. Ia terus terpaku dan tak dapat mengedipkan mata. Setelah bayangan putih itu lenyap ditelan kabut ia kembali memejamkan mata dan menangis.

“Aku telah rela melepaskanmu pergi untuk selamanya. Meski hal ini sangat menyakitkan bagiku. Aku ikhlas…” ucapnya lirih.

Angin bertiup sepoi-sepoi, satu per satu lembar-lembar daun cemara gugur di depannya. Ia meraih ranting, lalu di tulisnya sebait puisi.
Detik-detik berlalu
Musim semi pun akan berganti
Angin sepoi pun telah merayu
Tapi penantianku
Selalu hidup untukmu….

Untuk terakhir kali ia menjerit menyebut Arjuna melepaskan suaranya ke udara. Suaranya menggaung. Kini penantiannya pun telah berakhir. Mungkin janji tak selalu harus ditepati tapi sahabat sejati selalu tetap di hati. ***

Halimatus Sa’diah

Misunderstanding

FAJAR merah menyelimuti langit barat, sementara matahari mulai beranjak ke peraduannya.Burung-burung pun berterbangan menuju sarang mareka masing-masing. Binatang malam pun bangun dan siap untuk mencari makanannya. Disaat kehidupan malam menjelang, seorang remaja paruh baya sedang duduk di depan rumahnya. Wajahnya terlihat tua dibandingkan umurnya, seperti ada sesuatu yang membuatnya begitu tertekan. Pandangannya jauh kedepan, menatap dikegelapan malam yang mulai menginjakkan kakinya dipermukaan bumi.
“ Vin, nanti malam jadi datang khan……? “
“ Jadi, Aku jemput kamu, Ki? “ Kevin balik bertanya.
“ Nggak usah, biar Aku aja yang nyamperin kamu nanti!” Eki berkilah.
Eki dan Kevin sudah bergegas hendak pulang. Hari itu, semua keperluan sudah diatur untuk acara promnight, yang akan diadakan di sekolah nanti malam. Para siswa sibuk menyusun janji, ngobrol tentang acara nanti malam dan ada juga yang masih bekerja, sekedar membersihkan dan menge-cek semua keperluan acara.
“ Mana sih tuh anak? Udah jam segini belum juga datang, omel Kevin didepan rumahnya. Dia tak henti-hentinya melirik jam tangannya. Gila, udah jam tujuh bisa telat nanti, geramnya. Sedang asyik dengan omelannya sendiri, terlihat mobilnya Eki.
“ Sorry telat, bro!”
“ Basi, buruan aja berangkat, udah telat nih..!”
Ketika mereka sampai di sekolah, mereka langung menuju auditorium. Pasti mereka tidak mengetahui kalau sedang berada di auditorium jika tadak ada tulisan nama sekolah mereka diatas panggung. Auditorium sudah disulap menjadi ruangan pesta, layaknya pesta para selebritis papan atas. Disisi ujung panggung sudah didirikan panggung dansa, lengkap dengan kerlap-kerlip lampu dansanya. Dipojok panggung sang DJ tak henti-hentinya memainkan musik. Para penyaji makanan dan minuman pun sudah berseliweran kesana-kemari, menawarkan minuman pada tamu-tamu yang sudah datang.
“ Kita duduk sana aja yuk!” ajak Kevin
“ Ya, tapi dia kok nggak kelihatan sich..?”
“ Ntar lagi juga nampak batang hidungnya!”
Kevin dan Eki menuju meja didekat sudut panggung. Mereka asyik ngobrol dengan teman-temannya, sambil menikmati makan dan minuman pesta. Musik DJ kian mempesona, mengundang semua orang untuk bergerak mengikuti iramanya. Tak lama kemudian yang dinanti-nanti pun datang.
“ Hai…!”
“ Hmm, hai…!”, serentak mereka terpesona dengan kehadiran sosok gadis itu. Fitra, memakai gaun pesta warna putih, kelihatan kontras dengan suasana pesta. Rambutnya yang biasa diikat, dibiarkan tergerai begitu saja, menutupi bahunya. Kalung liontin putih semakin menyemarakkan keanggunan Fitra.
“ Udah lama nunggu ya..?” suara lembut Fitra, menyentakkan mereka.
“ Oh, nggak juga, silahkan duduk tuan putri!” seloroh Kevin
“Makasih”
Fitra duduk didekat Eki, membuat ia bergerak-gerak gelisah. Mereka ngobrol sambil menikmati makanan dan minuman pesta.
“Fit..!”
“Vin..!”
“Kompak nih?” sambung Kevin.
“Kamu aja duluan ngomong “ ujar Eki
“Nggak usah, kamu aja!” balas Fitra
“Hmm….., Fit kita dance yuk!” ujar Eki
“Musiknya asyik banget nih…!”
“Hmm, sorry, tapi aku barusan mau ngajak kevin juga!” imbuh Fitra
“Loo..,kok aku sih Fit, yang ngajak kamu kan Eki!” balas Kevin
“Udah, ikut aja!”
“Tapi……….”
Fitra menarik tangan Kevin dan mambawanya menuju panggung. Meninggalkan Eki yang sedang bingung sendirian. Tak tahu harus berbuat apa dan ada sesuatu yang mengganjal dihatinya.
“Kevin, kamu belum masuk?”
Suara Ibu kevin mengagetkannya, mengurai benang-benang kenangan pada malam itu. Aku harus jelaskan pada Eki sebelum masalah ini berlarut-larut. Besok aku harus kerumahnya, pikir kevin. Dia mendesah pelan dan beranjak masuk kedalam rumahnya, meninggalkan keheningan malam.
“Tok, tok, tok…..!”
“Ya, tunggu sebentar “
“eh nak Kevin “, sapa Ibu eki
“Pagi Tante, Ekinya ada tante?”
“Barusan keluar, tapi tante nggak tahu dia kemana “
“oooh, gitu ya Tante, ya udah saya pamit dulu tante “
“Nggak masuk dulu, sekalian nunggu eki “
“Nggak usah tante, makasih!”
Kevin meninggalkan rumah eki dengan kecewa. Ini diluar rencana aku, tapi apa boleh buat aku harus cari ia sampai ketemu dan menjelaskan masalah ini, pikir Kevin. Ia pun memacu mobilnya menyusuri jalanan kota.
Kemana sih tu anak?, udah dicari kemana-mana nggak ketemu-ketemu. Aku harus cari dia kemana lagi, semua tempat udah aku samperin tapi dia nggak ketemu juga, pikir kevin. Kevin tak tahu harus kemana dan ia memutuskan untuk pulang. Diperjalanan pulang ia melihat eki.
“Itu kan eki “, Kevin memarkir mobilnya ditepi jalan dan berlari menyusul Eki.
“Ki……!”, Eki menoleh kebelakang, raut wajahnya sangat kental sekali, jelas sesuatu telah mengubahnya.
“Mau apa lagi……?, belum puas nusuk aku dari belakang?, eeh vin aku pikir kita itu sahabat kental, tapi yang kaulakukan itu sungguh mengubah pandanganku. Kau menjijikkan!” sembur Eki
“Tahan dulu Ki, biar aku jelaskan semuanya “
“Jelaskan apa lagi..?, kau tahu aku suka sama dia dan kau yang dukung aku selama ini, tapi kau hanya dukung aku didepan aku khan…? dibelakang aku ini yang kau lakukan “
“Belum sejauh itu Ki, aku….”
“Plak”
Sebuah pukulan telak mendarat dipipi Kevin, membuatnya terlempar ke sisi jalan. Eki menindihnya dan memukul kevin berkali-kali. Dikejauhan terlihat sebuah mobil melaju kencang dan Eki tak menyadarinya. Kevin yang melihat mobil berusaha memberontak, namun ia tak cukup kuat. Kakinya dijepit dengan keras oleh eki, sementara tangannya satu tertindih di jalan dan satu lagi berusaha untuk menahan pukulan Eki. Dia memberontak lagi, kali ini berhasil kakinya lepas dari jepitan Eki dan langsung menendangnya, hingga ia terlempar ke tepi jalan.
“Tit…tit…tit…..!”
“Brak……..!”
Satu detik berlalu. Dua detik. Lima detik berlalu.
Apa aku sudah mati? Aku tak merasa apa-apa, apa seperti ini mati?. Kevin pun membuka matanya dan betapa kagetnya ia melihat mobil yang akan menabraknya sudah berbelok ke tepi jalan dan disana tergeletak sesosok tubuh tak berdaya.
Sayup-sayup, suara orang berbicara terdengar oleh Eki, perlahan-lahan ia membuka matanya. Sinar lampu menyoroti matanya dan membuat ia brkedip.
“Kamu sudah bangun?” sapa seseorang
“Aku dimana?” ia menoleh pada orang yang menyapanya. Ia duduk diatas sofa disamping tempat tidurnya. Suara televisi terdengar dari sudut ruangan disebelah pintu masuk.
“Kamu dirumah sakit, kamu harus banyak istirahat “ ujar kevin
“Tapi, aku ada kejutan untukmu, tunggu sebentar!” Kevin keluar. Eki baru ingat kejadian yang menimpanya kemarin, hingga ia tergeletak lemas disini. Ia tidak terluka parah, kepalanya terbentur saat ia terlempar ditabrak mobil, kakinya tergores namun tidak terlalu dalam. Pintu terbuka, ia pun menoleh. Fitra masuk sambil membawa sekeranjang buah-buahan. Ia meletakkanya dimeja dekat eki dan duduk disebelahnya.
“Hai, kamu sudah merasa baikan?”
“Ya, hanya saja kepalaku masih sedikit pusing!”
“Ki aku mau minta maaf soal kejadian kemarin “
“Soal apa?”
Fitra meraih tangan Eki, aliran kehangatan dari tangan Fitra mengejutkannya, ia merasa lebih baik dari sebelumnya.
“I love you” imbuhnya pelan.
Eki bagaikan disengat listrik. Secercah harapan yang dulu hilang kembali menghangatkan perasaanya.Ia merasa bahagia sekali.
”Kemarin saat promnight,aku sengaja mengajak kevin karna aku ingin tahu apa kamu peduli sama aku.Tapi aku tak menyangka akan seperti akhirnya” sesal Fitra.
“Aku juga mencintaimu” ujar Eki. Serta merta Fitra memeluk Eki. Ia merasa kehangatan menjalari seluruh tubuhnya,kehangatan yang selama ini ia tunggu.Aku harus minta maaf pada Kevin nanti, ia mendesah pelan.

Rahmansyah

Titipan Seorang Pelaut

seorang-pelautAYAHMU adalah seorang pelaut. Ia telah mengarungi tujuh samudera di dunia. Laut adalah kehidupannya. Sebelum Ayahmu bertemu dengan ibu, dia hanya mengisi kehidupannya di laut. Katanya lautlah yang telah membesarkan dia. Dari sebelum Bandar Melaka menjadi bandar yang ramai dikunjungi oleh para pelaut-pelaut dunia, dia telah biasa hidup di laut. Bahkan laut telah menjadi sahabatnya. Itulah sedikit sketsa sekilas cerita tentang Ayahku yang tidak pernah aku temui itu.
“Tapi, Mak, mengapa Mak tidak pernah mengajari aku sedikitpun tentang laut? Sedangkan darah dagingku adalah seorang pelaut ulung?”
“Hal itulah yang tidak aku inginkan. Karena jika kau menjadi seorang pelaut, maka Mak akan sulit untuk bertemu dengan kau. Pasti kehidupan kau hanya ada di laut. Apalagi di pelabuhan Malaka ini telah ramai sekali Pedagang-pedagang dunia yang singgah, jalur untuk kau menjadi seorang pelaut akan sangat mudah,”
“Lalu bagaimana Mak bertemu dengan ayah, sedangkan hidup ayah hanya ada di laut?”
“Itulah keajaiban cinta, nak. tidak ada seorangpun yang bisa menduga, takdir cinta itu sudah ditentukan oleh yang maha kuasa, siapa menduga kalau Mak bisa menikah dengan seorang pelaut, sedangkan Mak kau sendiri berasal bukan dari keluarga pelaut.”
Cerita itu yang selalu Ibu ceritakan kepadaku. Pada akhir hikayatnya, ia pasti akan mengatakan kalau cintanya kepada ayahku karena keajaiban semata. Dan ia akan mengatakan kalau itu sudah takdir yang tidak mampu diubah oleh manusia manapun, termasuk dirinya sendiri.
Aku memang tidak pernah melihat wajah ayahku. Tapi kata Ibuku, wajahku mirip sekali dengan wajah ayahku. Sifat dan karekternya pun sangat mirip denganku. “Jika kau penasaran dengan ayahmu, maka segeralah kau pergi ke Kubangan, maka cerminan wajah ayah kau ada pada dirimu.”
Bandar Malaka sebelum jatuh ke tangan Portugis adalah Bandar yang sangat maju. Semua pedagang-pedagang dari Asia dan Eropa selalu singgah untuk membeli rempah-rempah yang didatangkan dari Nusantara. Rempah-rempah yang diperdagangkan adalah berupa pala dan lada. Pedagang-pedagang yang datang adalah dari Arab, China, India dan beberapa negara Eropa seperti Inggris, Spanyol dan Prancis. Para pedagang itu memiliki kapal-kapal layar yang sangat besar. Apalagi kalau kapal dagang itu milik Inggris. Dari kejauhan sudah sangat kelihatan megahnya.
Mungkinkah Ayahku bekerja di salah satu kapal-kapal itu? Tapi ibuku tidak pernah menjawabnya. Dia hanya diam seribu bahasa. Ketika pertanyaan itu kulontarkan pada ibu. Entah mengapa ia pasti akan berlalu. Ayahku hidup atau mati pun aku tidak pernah tahu. Dan akhirnya pada suatu malam itu ketika aku desak, ibuku akhirnya menceritakan tentang ayahku dan ke mana sekarang ia pergi sehungga tidak pernah kembali.

*****
“Aku akan kembali Dinda, tunggulah aku di Dermaga ini hingga peperangan ini selesai. Sudah tidak ada cara lain lagi untuk memerangi mereka, “Pantang melayu hilang di Bumi!” Selama ini Malaka adalah negeri yang damai, tidak ada satupun peperangan yang terjadi. Meski aku hanya seorang Lanun, tapi aku tetap tidak rela jika Malaka bisa dikuasai oleh bangsa lain.”
Perempuan yang dipanggil Dinda hanya diam. Tapi air matanya tidak bisa ditahan lagi. Bulir-bulir air mata itu menandakan kepedihan yang sangat dalam. Sementara sekarang ia sedang hamil tua. Laki-laki itu pergi ke Pantai. Beberapa orang temannya sudah me-nunggu. Ia masih menatap kepergian suaminya.
Dengan hanya menggunakan sampan biasa, ia dan rakan-rakannya terus pergi. Di tengah laut, Kapal milik raja sudah ada yang berlabuh. Para angkatan laut Kerajaan Melaka telah menyiapkan segala perlengkapan perang untuk memerangi angkatan laut Portugis. Di Perairan selat Malaka Ratusan Kapal Portugis telah berlabuh di tengah lautan. Mereka tinggal menunggu arahan untuk menakluki kota Melaka.
Pada awalnya sang raja tidak mempercayai jika Portugis akan menyerang kota Malaka. Tapi setelah mendengar berita bahwa Pelabuhan-pelabuhan penting di Nusantara telah berhasil dikuasai oleh Portugis. Menanggapi itulah sang Raja memilih untuk mencegah pasukan Portugis memasuki kota Malaka. Raja mengumpulkan semua angkatan laut Malaka agar segera bersiap. Perang akan terjadi. Ternyata berita itu sampai di telinga rakyat jelata. Sehingga rakyatpun membuat inisiatif untuk ikut berperang melawan Portugis meski dengan hanya menggunakan sampan biasa. Mereka tidak gentar. Mereka tidak rela jika bumi Melayu jatuh ke tangan Portugis.
Maka berita itu juga sampai ke telinga Awang. Ia adalah seorang lanun. Biasa membajak kapal-kapal pedagang dari Arab, China juga dari Nusantara. Mendengar berita penyerangan Portugis, naluri cinta tanah airnya menggebu. Ia dan beberapa rekan Pembajaknya pun merencanakan untuk ikut dalam peperangan ini. Merasa laut adalah rumahnya, maka hanya ada satu kata yang harus mereka pegang, “Perang.” Dan laut akan memberi kemenangan pada mereka.
Alhasil merekapun ikut dalam kumpulan rakyat jelata dengan menggunakan sampan biasa, di tengah laut itu dipenuhi oleh sampan-sampan rakyat biasa. Mereka semua satu hati untuk memerangi Portugis. Hati mereka sedikitpun tidak gentar ketika melihat kapal-kapal perang Portugis yang telah menyambut mereka dengan mengarahkan moncong-moncong meriam ke arah mereka.
“Seraaaang!!!!” seru Laksamana.
Maka dengan semangat menggebu mereka mengayuhkan sampan menuju kapal-kapal Portugis yang juga mengeluarkan tembakan meriam ke arah mereka. Letusan peperangan angkatan laut itupun pecah dengan masing-masing pihak saling serang. Awang pun menyerang membabi buta. Dengan sebilah keris ia bisa membunuh satu persatu pasukan Portugis ketika sampan-sampan mereka berhasil merapat ke salah satu kapal Portugis dan menyerang seluruh awak yang ada dalam kapal itu. Dan akhirnya satu buah kapal Portugis berhasil mereka takluki. Mereka tidak memberi ampun kepada tentara-tentara Portugis yang ada dalam kapal itu. Semuanya mati mereka bunuh.
“Horeeeeeeee!!!” mereka berseru beramai-ramai. Awang pun ikut dalam euforia itu. Dari kejauhan laksamana hanya tersenyum melihat kapal itu berhasil ditakluki. Ketika semua larut dalam euforia itu, tiba-tiba sebuah tembakan Meriam menuju ke arah mereka. Dan tanpa sepengetahuan mereka dua kapal Portugis telah merapat ke arah mereka langsung melepaskan tembakan betubi-tubi menggunakan meriam-meriam yang ada di sekelilingi kapal-kapal itu ke arah mereka.
Akhirnya Awang dan rekan-rekannya hanya memberi perlawanan tidak berarti. Mereka kocar-kacir dalam kapal tersebut. Sementara tembakan terus saja di lepaskan oleh tentara-tentara Portugis. Laksmana yang melihat hal itu mencoba membantu, tapi mereka pun ditubikan dengan tembakan-tembakan dari kapal Portugis yang lain. Kapal yang dinaiki Awang semakin mendekati masa yang kritis. Para awak di dalamnya banyak yang menjadi Korban tembakan dari meriam-meriam Portugis.
Awang yang melihat keadaan yang tidak berimbang itu semakin panik. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Dan lambat laun kapal yang dinaikinya itu tenggelam dan akhirnya hilang di atas permukaan laut bersama Awang. Sementara angkatan laut kerajaan terus berperang sampai titik penghabisan. Terus berusaha melawan tentara Portugis dengan segala upaya.

*****
“Kekalahan angkatan laut Kerajaan Malaka membuat Potrugis berhasil memasuki kota Malaka dan menaklukkan seluruh kerajaan Malaka. Sejak itu Bandar Malaka tidak ramai dikunjungi pedagang-pedagang negeri lain, karena Portugis telah menguasai pelabuhan Malaka dan meminta upeti begitu tinggi. Mak hanya mendengar berita dari orang-orang yang berhasil lari dari peperangan itu dan mengatakan mungkin Ayahmu ikut mati dalam peperangan tersebut. Tapi keyakinan Mak mengatakan bahwa Ayahmu tidak mati. Dia pernah mengatakan kalau laut adalah sahabatnya, tidak mungkin sahabat tega membunuh sahabatnya sendiri. Lagi pun Mak tidak pernah menemui jenazah ayahku hingga sekarang.”
Ibuku mengakhiri ceritanya dengan air mata. Aku sendiri merasa bangga mendengar cerita ibuku, walaupun pada awalnya ayahku adalah seorang Lanun, tapi ia telah mengorbankan raganya untuk membela Bandar Malaka jangan sampai jatuh ke tangan Bangsa lain. Sejak Malaka jatuh ke tangan Portugis, kerajaan-kerajaan Nusantara semuanya mengumumkan perang kepada Portugis.
Tapi aku sendiri setelah mendengar cerita ibuku, semangat menggebu untuk menjadi Pelaut merasuki seluruh ragaku. Keinginan itu belum aku utarakan pada ibu karena aku tahu ia pasti melarang aku menjadi seorang Pelaut. Tapi aku akan berusaha membujuknya. Karena aku adalah anak seorang pelaut, pembajak sekaligus pahlawan yang tidak di kenal di Bandar Malaka.***

Muhammad Nazar Albani

Skandal Cinta di Pohon Cherry

cerpen-cinta-pohon-cherryRasanya lezat, kuahnya enak, nasinya juga harum. Itulah cita-rasa sate Madura bagiku dan Eva. Kami sudah rutin, layaknya upacara sakral, untuk selalu makan sate Madura setiap malam minggu. Seperti malam ini, aku dan Eva sedang menikmati alunan kelezatan sate Madura yang enak di mulut, mengenyangkan di perut, bersahabat pula dengan dompet. Dan di warung sate Madura inilah tempat pertama kali kami bersua dan jatuh cinta pada pandangan kelima. Betulkah? Betul, betul, betul!!!

“Re, tadi Neza sms, temen aku yang yang tomboy tu, tau ‘kan? Nah, dia mau minta tolong translate-kan tugas Bahasa Jepangnya ke Bahasa Inggris. Bisa, Ta?” Eva membuyarkan bentangan lamunanku, dia melahap satu tusuk sate sekaligus ke dalam mulut mungilnya.

“Oh…ya my sweatheart, bisa, bilang ja ma Neza, antar tugasnya tu besok ke kos dirimu ya,” tukasku sambil melalhap habis satu tangkai daging sate juga. Begitulah, terkadang dia memanggil namaku, terkadang pula dia memanggilku “Ta”, ujung dari kata “Cinta”.

* * *

“Ev, mana Neza-nya?” aku sudah tidak nyaman duduk di depan kos Eva, sudah 4 jam kami menunggu.
“Bentar lagi Ta, sabar ya, Cinta.” Bujuknya sambil membelai kepalaku lembut. “Nah, itu Nezanya datang,” katanya lagi. “Kok lama kali sich, Nez?”
“Aduwh Ev, tadi ada urusan, makanya telat. Maaf ya!” Neza memelas.

Eva sering cerita tentang Neza, tapi aku belum pernah ketemu dengannya. Inilah kali pertama aku bertemu Neza. Dalam dongkol, kulirikkan mataku ke arah Neza. Dia memiliki rambut lurus sebahu, diikat seperti ekor kuda, mengenakan baju kaos kuning lengan pendek dan celana jeans biru selutut. Aku tidak percaya kalau ternyata ada gadis di bumi ini yang lebih ayu dari pacarku, tapi walaupun mataku terpana, hatiku sama sekali tidak terpesona, cintaku tetaplah untuk kekasihku, Eva.

“Ini cowok Eva ya?” tanyanya sambil mengulum senyum. Aku hanya mengangguk dan membalas senyumnya. “Neza”, ujarnya sambil mengulurkan tangan.

Aku jabat tangannya, “Rehan.” Jawabku singkat. “Oh…ya, langsung aja, yang mana tugasnya?” tanyaku to the point.

“Ini,” Neza mengulurkan tiga lembar teks berbahasa Jepang. Aku segera menggarapnya, men-translate-kannya ke Bahasa Inggris.

Tidak lama kemudian aku menyelesaikan terjemahan itu. Aku menyodorkan 2 helai kertas yang dibelai udara seperti rambut Neza yang terurai dihembus angin sepoi-sepoi.

“Makasih ya.” Tutur Neza lembut, lalu Eva mengantarnya ke gerbang kos di bawah sore yang hampir senja. Setelah itu, langit berwarna jingga mengatup kisah pada hari itu.

* * *

“Kurang ajar!!!”
Buak!!! Tanganku berdarah meninju dinding, amarahku terbakar. Kekasihku yang selama ini kuanggap setia, ternyata bersikap seperti itu di belakangku. Selama ini aku percaya saja sama dia, tapi ternyata ini balasan atas kepercayaan yang telah kuberikan padanya. Dia telah menghujamkan belati ke jantungku. Dia telah menikamku dengan sadis dari belakang. Pengkhianatannya mengubur cintaku padanya dan membangkitkan kebencian yang tak terkira. Pantas saja kadang aku merasa aneh, kenapa ada nomor hp seorang cowok yang sampai dua tiga buah di hp

Eva. Satu nama tiga nomor dengan kartu yang berbeda, pantaslah Eva memiliki banyak kartu.
Nama cowok itu Bang Andi. Ketika aku tanya siapa Bang Andi, Eva bilang kalau orang itu adalah abang angkatnya. Aku percaya saja padanya, tapi belakangan ini aku curiga. Setiap kali aku menelponnya, selalu tertulis ‘menunggu’ di hp-ku, bahkan saat kami makan sate, si Bang Andi juga kerap kali menghubungi Eva. Dan ternyata, si Bang Andi itu tidak lain tidak bukan adalah si Dika alias Andika Pratama, mantannya. Dia telah membohongiku. Dia masih berhubungan dengan mantannya di belakangku. Dia pernah berjanji padaku bahwa dia tidak akan pernah menjalin hubungan apa-apa lagi dengan mantannya, tapi sekarang… Dia mengingkari janjinya!!!

Kenapa dia tega melakukan semua ini padaku, padahal aku tidak pernah menyakitinya, aku selalu menyayanginya sepenuh hati. Pengkhianatannya bagaikan petir yang menghancurleburkan jasadku. Aku baru tahu semua itu hari ini, saat aku membuka facebook Eva. Di sana, aku menemukan pesan yang isinya mereka berdua janjian ketemuan nanti malam di kos Eva, di bawah pohon cherry di depan kos.

Begitu Eva pulang kuliah, aku menemuinya seperti biasa. Aku bersikap seolah tidak tahu apa-apa. Eva bilang malam ini dia akan mengerjakan tugas kuliah, jadi tidak bisa ketemuan. Aku iyakan saja, lalu malam harinya, aku datang setengah jam lebih cepat dari waktu ketemuan yang telah mereka rencanakan. Pengintaianku tak ubahnya seperti pengintaian singa yang akan menerkam mangsa. Aku bersembunyi di balik pagar yang ditumbuhi bunga akasia yang cukup rimbun. Bulan enggan keluar dari selimut awan hitam, seakan takut melihat ledakan amarahku dan remuk redam hatiku.

Setengah jam berlalu, aku melihat Dika datang. Mereka duduk berdua, dekat, dekat sekali. Bara api amarah sontak menjalari urat-urat di sekujur tubuhku. Aku segera keluar dari persembunyian, Eva terkejut melihat kedatanganku. Tanpa banyak basa basi, aku mencengkram kerah baju Dika dan meninju wajahnya, perutnya dan menendang dadanya. Tak ayal, dia terjengkang. Eva berteriak histeris melihat kejadian itu. Belum puas dengan semua itu, aku mendaratkan bogem mentah ke mulut Dika sekuat tenaga sampai semua gigi serinya patah. Setelah itu, kupalingkan wajahku ke Eva.

“Mulai hari ini, kita PUTUS!!!” Bentakku dan berlalu meninggalkannya yang terisak-isak menangis. Aku tenggelam dalam gulita. Hatiku remuk tak bersisa. Air mataku menetes, menelusuri pipiku dan jatuh ke bumi setelah singgah ke dagu. Air mata itu adalah derai air mata terakhir untuk cinta. Persetan dengan cinta. Ternyata wanita itu pendusta. Semua wanita itu pembohong, pengkhianat!!! Aku menggerutu, mengutuk sepanjang malam.

* * *

Bulan demi bulan pun datang silih berganti. Bahkan tanpa terasa, sudah dua tahun sejak peristiwa agresi pengkhianatan cinta itu menimpaku, aku masih belum juga memiliki pacar baru. Aku hanya berjalan ditemani waktu menelusuri jalan setapak di taman belakang kampusku. Di tanganku bergelayut tas kotak dengan isi penuh buku.
Bruk!!!

Aku ditubruk dari belakang. Semua bukuku berserakan ke taman, sebagian malah nyungsep ke becekan yang digenangi air keruh.

“Kurang ajar!!!” hardikku seraya mengepal tinju. Aku akan segera mendaratkannya di wajah orang yang mengakibatkan semua ini. Tapi, berselang satu detik kemudian, jantungku berhenti berdetak, darahku membeku. Gadis itu tersenyum padaku dan meminta maaf, hatiku luluh, aku balas senyumnya dan menatap matanya. Kali ini, mataku terpana dan hatiku terpesona.

“Neza…” sapaku.
“Rehan…” balasnya sambil menatapku dengan senyum menggoda, betapa manisnya dia.***

Yusparizal,

Lilin untuk Maryam

———————–

“Kenapa nggak boleh, Bu? Kan cuma lima hari?” marah Dinda pada ibunya yang tidak menyetujuinya untuk ikut berlibur bersama teman-temannya ke Bandung.

“Feeling Ibu nggak enak, Din. Ibu masih belum bisa melepas Dinda.” Sambil menyalin nasi ke mangkuk, Maryam, ibu Dinda menjelaskan alasannya dengan nada datar, nada keibuannya yang biasa meluluhkan anak semata wayangnya untuk menurutinya.

“Bu, Dinda kan sudah besar. Apalagi yang Ibu beratkan untuk melepas Dinda? Pun Dinda juga sering Ibu tinggal berhari-hari, malah lebih dari lima hari, karena kerjaan Ibu.” Dengan kesal Dinda mengutarakan semua alasannya.

Maryam adalah seorang single parent setelah kematian suaminya dua tahun yang lalu. Sejak itu, Maryam harus banting tulang demi kelangsungan hidup dan pendidikan anaknya. Sebagai seorang engineer, tak jarang ia bepergian berhari-hari, bahkan hingga sepuluh hari. Tapi, tak pernah sekali pun ia meninggalkan anaknya tanpa menelfonnya tiga kali sehari. Selain itu, tentu saja Dinda tak dibiarkan tinggal sendirian di rumah, selalu ada Sari, kakak Maryam yang dimintai tolong untuk menemani Dinda.

“Walaupun Din… perasaan Ibu berat.” Sambil membawa nasi hangat untuk makan malam, Maryam duduk di kursi makannya.

“Ibu tak adil, Dinda tak melarang Ibu berlibur bersama Om Sofyan, tapi Ibu melarang dinda berlibur bareng teman-teman. Tak adil!” beranjak dari kursi makan, Dinda bersegegas menuju kamarnya.

“Dinda… Ibu dan Om Sofyan bukan berlibur! Kami team, Dinda! Ingat itu!”
“Tetap saja ibu tak adil!”
BRAKK! Banting dinda.

Sungguh berat bagi Maryam sebagai single parent menghadapi anak semata wayangnya dalam tujuh tahun kedua. Mengikuti ceramah yang pernah didengarnya dahulu, Rasulullah ketika mendidik anaknya membagi dirinya menjadi tiga sikap. Tujuh tahun pertama mendidik anak dengan menganggap anaknya sebagai raja, mengikuti keinginan-keinginannya dengan tetap memberi patokan yang benar. Tujuh tahun kedua, menganggap anaknya sebagai seorang tawanan. Sedikit agak keras, mengekang, dan selalu mengawasinya. Tetap berpatokan pada suatu kebenaran agar kelak ia dapat menentukan yang mana yang baik dan yang mana yang buruk.

Terakhir, tujuh tahun ketiga dan selanjutnya, menganggap anak sebagai seorang sahabat.Mengajaknya melakukan apa yang baik buatnya, dengan lemah lembut, penuh kasih saying.Tetapi, kisah ini belum sampai ke telinga Dinda. Rencanaya nanti setelah Dinda menjadi sahabatnya.

Dan sekarang Dinda dalam masa tujuh tahun kedua. Sulit bagi maryam untuk menjalani perannya dengan sempurna. Selain tuntutan ekonomi, sebagai single parent, Maryam harus tetap memperhatikan tuntutannya sebagai seorang ibu. Suatu peran yang sulit ia satukan dari peran kerjanya, seorang engineer.

Banyak saja celah yang tertangkap oleh Dinda sebagai kesalahan Maryam. Meninggalkannya berhari-hari, tidak menghadiri rapat orang tua –walau mengutus Sari sebagai wakilnya-, tidak menemaninya membeli peralatan sekolah, tidak menanyakan berapa nilai ulangannya –padahal ia memperoleh nilai sempurna,100-, tidak genap lima belas hari dalam sebulan menjemputnya, tidak berada disisinya ketika banyak hal yang ingin diceritakannya, dan sekarang tidak mengizinkannya berlibur bersama teman-temannya ke Bandung. Tambah lagi celah yang paling besar, menuduh Maryam ada sesuatu terhadap Sofyan, rekan kerja Maryam.

17 Desember 2010, salah satu rutinitas Maryam, menyilang hari yang telah berlalu dengan beberapa agenda yang telah tercapai dan membuat agenda baru untuk hari-hari selanjutnya. Tangannya terhenti pada agenda 20 Desember 2010. Ulang tahun Dinda yang ke lima belas. Hari yang akan merubah sikapnya, dari menganggap Dinda sebagai tawanan menjadi sahabat. Ia berencana akan membuat hari itu begitu special baginya dan tentu saja badi Dinda, pemilik hari itu.

Berawal dari 18 Desember 2010. Tanpa jadwal proyek yang selalu mengganggunya, Maryam membuat sebuah hadiah istimewa buat Dinda. Ia berencana mambuat kamar baru buat Dinda. Menjadikan kamar tamu yang jarang terawat sebagai lokasinya. Mulai dari membersihkan, mengecat, mengganti tirai, tempat tidur dan meja belajar yang baru buat Dinda semua ia lakukan sendiri. Sesekali ia meminta bantuan Sofyan untuk memesan peralatan yang ia inginkan, seperti lemari, boneka dan beberapa bingkai yang menghiasi lukisan Dinda yang selama ini hanya tersinpan dalam boxnya. Semua peralatan berwarna dan bercorak kesukaan Dinda. Kamar tersebut penuh dengan warna hijau dengan berbagai gradasi yang menarik. Dinda pasti senang, fikirnya.

Sebelum ia menjemput Dinda, tak ada celah yang dapat membuat Dinda bahwa ada sesuatu yang luar biasa yang terjadi di rumahnya. Ketika Dinda tiba di rumah, dugaan pun tak terlontar dari gerak-geriknya. Semua Maryam lakukan hanya ketika Dinda sekolah, tentu, karena Dinda berangkat pukul 07.00 dan pulang pukul 16.00. Tak sempat baginya memandangi keadaan rumahnya. Selanjutnya 19 Desember 2010, Mar-yam kembali dengan berbagai rencananya.

Namun, setelah selesai sudah hadiah tersebut, tiba-tiba saja seseorang datang menjemputnya. Ia lupa bahwa 20 Desember ia harus berada di Bekasi untuk sebuah proyek yang telah ditandatanganinya.

Tak bisa mengelak, Maryam pun berangkat ke Bekasi. Sebelum itu ia menitipkan kunci yang juga sudah di kotakkan indah kepada Sofyan yang tidak ikut proyek kali ini, agar memberikannya kepada Dinda sepulang sekolah esok.
Esoknya, mendapat kotak kecil dari Sofyan, Dinda menampakkan wajah dinginnya, walau tetap melontarkan ucapan terimakasih, karena kebiasaan.

Dibukanya kamar hadiah Maryam. Cantik, sesuai seleranya, sangat bahagia. Tapi tetap saja ada celah lagi, Maryam tak bersamanya dihari ulang tahunnya dan Sofyan yang mengantarkan hadiah Maryam. Kalau Sofyan hanya team, kenapa Sofyan yan mengantarnya. Surat dari Maryam, tentang cerita sikap Maryam padanya, tak dibacanya. Telfon Maryam tak diangkatnya. Tak ada kata-kata yang didengarnya dari Mar-yam. Sampai pesan yang dikirim Maryam pun tak di bacanya, bahkan langsung dihapusnya.

Hingga 22 Desember 2010. Hari tibanya Maryam kembali kekediamannya, Pekanbaru. Hari ibu yang biasanya dirayakan oleh dua beranak ini. Kini, tak ada tanda-tanda bahwa hari itu ada. Dinda tak langsung pulang, hanya sms yang dikirimnya, bahwa ia ke rumah Sari. Tinggallah Maryam seorang diri di rumah. Hadir tanpa sambutan. Duduk di ruang makan dengan kue hari ibu yang di belinya sendiri. Tiba-tiba lampu padam, penuh air mata Maryam menyalakan lilin.Meratapi kesalahannya. Seandainya saja pekerjaannya tidak menuntutnya sekeras ini, seandainya saja masih ada ayah dinda yang selalu mengisi kekurangannya, seandainya seja ia lebih tanggap lagi, seandainya saja dinda mengerti. Mar-yam menangis sambil berbicara sendiri menghadap lilin.
“Jangankan seperti sang surya menyinari dunia, seperti lilin pun kasihku tak sampai.” Terhenti oleh tangis “Anakku seorang saja tak bisa kubahagiakan.” Air matanya mengalir sambil bernyanyi “Kasih ibu, kepada beta, tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi, tak harap kembali …”
“Bagai sang surya menyinari dunia.” Sambung Dinda sambil membawa rangkaian lilin yang banyak, indah. Dengan isak tangis lagu itu ia nyanyikan.

“Maafkan Dinda Bu. Cik Sari dan Om Sofyan telah menjelaskan semuanya pada dinda. Dinda juga sudah membaca surat Ibu. Juga Dinda telah mengerti alasan kenapa Ibu terlalu sibuk bekerja.

Begitu egoisnya Dinda. Maafkan Dinda Bu.” Tangis mengalir bahagia dalam pelukan Maryam dan Dinda dengan lilin untuk Maryam.
—————————-

Cerpen tentang Hari Ibu ini oleh:

Desi Risnasari