Selasa, 04 Januari 2011

Memandang Bulan

Bulan itu memancar dengan warna keemasan. Aku tertegun menatapnya. Sungguh mempesona. Malam yang kelam menjadi indah dan menggairahkan. Samar-samar kulihat seorang gadis di bulan itu. Ah, ternyata dia kekasihku. Aku tersenyum memandangnya yang terlihat tengah asyik melenggak-lenggokkan tubuh eloknya di bulan itu. Matanya yang bening menatapku lekat. Jemarinya yang lentik melambai-lambai ke arahku dengan kerincing gelang-gelang mutiara.

“Johan, kenapa melamun saja?” tiba-tiba seorang gadis menegurku.
Aku menoleh menatapnya. Aku heran. Entah dari mana datangnya dia. Tahu-tahu dia telah berada di sampingku.
“Kamu siapa?” tanyaku takjub. Gadis ini sungguh rupawan. Lebih cantik dari kekasihku yang tadi kulihat sedang menari-nari di bulan.

“Hei, kamu kenapa, Johan? Kamu seperti orang linglung?” mata gadis itu menatapku dengan heran. Aku makin terpesona menatap mata indah berbulu lentik itu.

“Linglung? Oh, sungguh aku tidak pernah mengenalmu sebelumnya…” mataku tak berkedip memandang wajahnya. Pipinya tampak memerah.
“Aku Salma!”

“Salma?” sekarang aku benar-benar seperti orang linglung.
“Ya, aku Salma! Kamu terkena amnesia, ya?! Aku ini kekasihmu!” gadis bernama Salma itu mulai kesal.
“Kekasihku? Ah, seingatku, kekasihku bernama Amelia, bukan Salma.”
“Johan, Johan…” gadis itu tertawa kecil sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. “Amelia itu juga namaku begok! Tepatnya nama belakangku, Salma Amelia! Apa kamu sudah lupa?”
“Salma Amelia?”
“Ya, Salma Amelia!”

“Nama kekasihku Amelia Dewi, bukan Salma Amelia!”
“Amelia Dewi? Hah, siapa dia?! Siapa?! Kau selingkuh ya…!” mata indah itu membulat. Terlihat sekali betapa marahnya dia, namun bagiku mata itu makin mempesona saja.
“Aku tidak pernah selingkuh!”
“Lalu siapa Salma Amelia itu?”

“Coba kau lihat bulan itu,” ujarku menunjuk langit.
Gadis itu mendongakkan wajahnya, menuruti kemauanku. Mungkin dia juga penasaran.
“Apakah kau melihat seorang gadis di bulan itu?”
Gadis di sampingku menatapku heran, lantas berkata, “Kau memang sudah gila! Lebih baik aku pergi saja!” gadis itu melangkah pergi.
“Hei, kamu mau ke mana?” aku berusaha mencegahnya.
“Besok kalau kau sudah ke psikiater, baru kau boleh temui aku lagi!”

***

Malam berikutnya aku kembali memandang bulan. Semalam bulan itu berwarna keemasan. Tapi hari ini warna bulan itu berubah menjadi ungu. Baru kali ini aku melihat bulan berwarna ungu. Samar-samar masih kulihat kekasihku tengah menari-nari dengan kerincing gelang-gelang di tangannya. Terkadang dia berputar-putar mengembangkan gaun suteranya seperti penari India.

“Kau melamun saja?” terdengar seorang gadis menegurku.
Aku menoleh, dia bukan kekasihku, bukan juga gadis yang menemuiku semalam yang mengaku-ngaku sebagai kekasihku. Tapi dia juga cantik. Bibirnya yang merah tampak mengkilat diterpa cahaya rembulan. Matanya indah dengan alis yang melengkung seperti lengkungan pelangi yang menghiasi langit kala hujan gerimis di sore hari.
“Kau siapa?” tanyaku.

Gadis itu tertawa, “Tidak biasanya kamu bercanda seperti ini?…”
“Bercanda? Aku tidak bercanda! Aku memang belum pernah melihatmu sebelumnya…”
“Benarkah kamu tak mengenaliku?!” mata gadis itu membulat.
Aku mengangguk dengan yakin.

“Lalu cincin ini pemberian siapa?” gadis itu memerlihatkan cicin perak di jari manisnya.
Aku mengendikkan bahu.
“Sudahlah, Johan! Hentikan sandiwaramu itu!”
“Hei, sandiwara apa? Aku memang tidak pernah mengenalmu!”
“Huh, lebih baik aku pergi saja!”
“Woi, kamu mau pergi ke mana?”

Gadis itu tak menoleh. Terus saja melangkah tanpa menghiraukanku lagi.

***

Masalah. Hari ini aku tertimpa masalah berat. Pekatnya mendung memang tak bersahabat tadi malam. Tidak seperti malam-malam sebelumnya. Begitu cerah. Aku tak bisa melihat bulan semalam, pun kekasihku yang selalu setia menemaniku tiap malam, menghiburku dengan tarian Indianya yang gemulai.
Tapi itu bukan masalah berat yang kumaksud.

Hari ini aku tak bisa pulang. Bahkan tak tahu jalan pulang. Aku membutuhkan pertolongan. Tapi siapa yang bisa menolongku? Setiap orang yang kuminta pertolongan selalu acuh padaku. Mereka tak ada yang mau mengantarku pulang. Mereka semua egois!

“Johan? Lagi ngapain di sini?” seseorang menyapaku ramah.
“Tika?” mataku berbinar-binar melihat teman sekampusku itu telah berdiri di hadapanku. “Syukurlah kamu datang ke mari.”

“Memangnya ada apa?”
“Aku butuh pertolongnmu. Aku… aku lupa jalan pulang ke rumahku.”
“Ha ha… ada-ada saja kau ini Johan!” dia tertawa.
“Tapi aku sungguh-sungguh tak ingat jalan pulang!”
“Baiklah, manti aku antar. Sekarang aku ingin ziarah ke makam ibuku dulu. Mau ikut?”
“Ibumu?”

“Ya. Ibuku telah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Hari ini hari ulang tahunnya, makanya aku ingin mendoakannya semoga ibu hidup bahagia di alam sana…”
“Amin…,” sahutku seraya melirik keranjang bunga yang dibawa Tika. Di dalam keranjang bunga itu terselip sehelai foto.

“Foto siapa itu?” tanyaku menunjuk ke dalam keranjang bunga.
Tika meraih foto itu, “Ini foto ibuku sewaktu dia masih gadis dulu.”
Aku meraih foto itu lalu memandanginya lekat-lekat. Seketika mataku terbelalak. Wanita dalam foto ini benar-benar mirip dengan gadis yang menemuiku dua hari lalu saat aku memandang bulan. Apakah ini nyata? Aku menggosok-gosok mataku tak percaya.

“Oya, akhir-akhir ini kamu sering menyendiri dan senang sekali memandang bulan purnama pada malam hari?” Tika mengalihkan perhatianku menatap foto itu.
Aku diam saja. Tak menyahut apa-apa.

“Apakah kamu belum bisa melepas kepergian Amelia, gadis keturunan India itu?”
“Dia belum meninggal, Tika! Semalam aku melihatnya tengah menari di bulan!”
“Johan, kamu tak boleh seperti ini. Masih banyak gadis lain yang mau menerima cintamu dengan tulus…”
“Tika, kau harus percaya aku! Amelia masih hidup. Sekarang antarkan aku pulang! Aku ingin memberitahu ibuku bahwa Amelia masih hidup!”

Tiba-tiba langkah kami terhenti. Di hadapan kami tergeletak sesosok mayat dengan tubuh berlumur darah. Sepertinya korban tabrak lari.
Aku dan Tika melangkah mendekati mayat itu lalu mengenali wajahnya. Betapa terperanjatnya aku, tubuh berlumur darah itu adalah diriku sendiri! Tidak, tidak mungkin!

“Johan, ayo ikut kami…” terdengar panggilan beberapa wanita di telingaku. Saat aku menoleh, kulihat Amelia, Salma dan gadis yang mengenakan cicin perak semalam melambai ke arahku. Anehnya pakaian mereka semua berwarna putih.

Saat aku menundukkan wajah, kulihat pakaianku juga telah berubah putih…***

Johan Fernando,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar