Selasa, 04 Januari 2011

Cahaya Ramadan

Matahari sore ini tampak bersembunyi di balik awan putih. Angin bertiup sepoi-sepoi menyejukkan kulit. Aku sedang menyusun cendol, rumput laut, potongan kecil nanas dan papaya, juga agar-agar dan cincau ke masing-masing toples. Tak lupa air gula dan santan. Yah, ini hari pertamaku berjualan di pasar kaget Ramadan, pasar yang menjual aneka makanan untuk berbuka, sejak seminggu yang lalu puasa. Berkat anjuran Dik Retno, perempuan anggun berjilbab yang tinggal di sebelah rumah kontrakanku. Usianya terpaut beberapa tahun di bawahku. Tetapi dialah satu-satunya perempuan yang aku bisa jadikan tempat curahan hatiku.

Bermula di suatu pagi ketika aku sedang menjemur pakaian. Seperti biasa kami hanya berbasa-basi saling menanyakan nama dan profesi, hingga kemudian Dik Retno sering main ke rumahku bersama anaknya yang masih satu, berumur 2 tahunan. Pada awalnya aku menganggap dia seperti wanita yang lainnya, yang katanya bisa menjaga rahasia tetapi ternyata rahasia itu sudah menjadi bahan gunjingan semua tetangga. Tetapi kata-katanya yang lembut dan penampilannya yang anggun, bahkan dia sama sekali tak pernah membicarakan satu tetangga pun dalam setiap percakapan kami.

Berbeda dengan teman-teman tetanggaku dulu, yang setiap acara ngerumpi selalu diawali dengan topik membahas masalah seseorang hingga menjadi bahan gunjingan dan ujung-ujungnya sudah menjadi rahasia umum. Dik Retno selalu menanyakan bagaimana salatku hari ini, tilawah Quranku, yang bahkan entah sejak kapan aku tidak pernah melaksanakannya lagi. Dik Retno selalu bercerita, betapa menyesalnya dia jika meninggalkan jadwal tilawah Quran yang hanya dua lembar setiap habis salat, atau salat malamnya yang tertinggal padahal mata sudah tebangun.

Meski pada awalnya aku sangat gerah dengan segala omongannya yang mirip-mirip ustadzah, namun aku kemudian terbiasa dan merasa bersyukur mempunyai tetangga seperti Dik Retno yang mau mengingatkan ke hal-hal yang baik. Hingga aku berani menceritakan kisah hidupku. Pada awalnya Dik Retno terkejut, tetapi dengan lembut dia menyemangatiku untuk bisa berubah dan bertahan hidup. Dengan uang pinjaman sejumlah Rp100 dari Dik Retno-lah aku berani mencoba berjualan es rumput laut di pasar Ramadan ini. Meski aku punya sejumlah uang sisa dari kerjaku yang dulu, tetapi aku mencoba memulai usaha ini dengan uang halal. Seperti kata Dik Retno. Yang entah dari mana aku selalu tersihir dengan kata-katanya.

“Mbak, es rumput lautnya dua bungkus ya.” Kata seorang gadis muda mengagetkan lamunanku.
“Eh..iya..iya.”

Dengan cekatan aku segera membuatkan racikan es rumput laut. Setelah satu jam aku duduk sambil menunggu pembeli, baru gadis muda inilah pembeli pertama. Memang ternyata mengais rezeki yang halal itu harus mempunyai stok kesabaran yang tinggi, jika tidak ingin mengambil jalan pintas untuk mencari rezeki haram sepertiku dulu.

Aku mulai gelisah. Pembeli tidak juga menghampiri meja es rumput lautku. Ah, mungkin waktu berbuka masih lama. Namun terlihat mendung hitam sedang menggayut di langit. Angin yang berhembus sangat kuat mencoba mencabik-cabik terpal kokoh di atasku. Seperti pertanda bahwa langit sebentar lagi akan membasahi bumi. Ya Allah, berilah aku kesabaran. Eh aku menyebut nama Allah, setelah bertahun-tahun aku tak merasa mengenalnya. Meskipun aku selalu mempercayainya bahwa Dia ada.

Dan tumpahan jarum-jarum air yang menusuk bumi, seolah menghempaskan harapanku. Harapan agar es rumput lautku terjual. Namun bagaimana mungkin, di saat hujan turun dengan lebatnya begini akan ada orang yang mau menyuapkan es ke dalam mulutnya. Ya Allah, mudahkanlah rezeki halalku ini. Ternyata memulai sesuatu yang baik tidak semudah yang aku bayangkan dan aku harapkan.
“Mbak, es rumput lautnya 5 bungkus. Tapi tidak pakai es ya mbak,” kata seorang pemuda memberiku harapan.
Dengan cekatan aku segera membungkuskannya. Ah ternyata Allah lebih kuasa.

****

Aku masih duduk dilantai beralas tikar setelah membereskan sisa daganganku sore tadi. Hanya laku 15 bungkus, itu berarti Rp60 ribu aku dapat hari ini. Kulihat cendol, nenas, pepaya dan rumput laut masih lumayan banyak. Nanti aku coba titip menyimpan di kulkas Dik Retno. Jika tidak basi aku bisa menjualnya besok lagi. Tinggal membikin santan dan air gula.

Malam mulai beranjak. Masih terdengar dari masjid suara orang membaca ayat-ayat Alquran. Anak-anak berlarian di jalan depan rumah kontrakan, sambil sesekali terdengar suara bunyi petasan kemudian disambut dengan bunyi tawa mereka. Ah, Ramadan selalu ramai, ketika biasanya orang-orang sudah terlelap namun masih saja terdengar suara orang membaca Alquran dari masjid-masjid yang masih terdengar sayup-sayup. Aku sendiri tak tahu. Sudah berapa lama aku meninggalkan salat dan puasa. Mengisi Ramadan dengan Tarawih atau membaca Alquran. Namun apakah seseorang sepertiku ini yang hina, yang mau menjual tubuhnya demi segepok uang masih bisa mendapat ampunannya. Atau bagaimana mungkin jika aku selalu sujud memohon ampunannya, namun di malam harinya aku selalu mengulangi dosa besar yang sama? Itulah alasannya mengapa aku selalu mengurungkan niatku untuk melakukan salat.

Namun, Ramadan kali ini berbeda. Rasanya ada keinginan yang meletup-letup dari dalam hatiku untuk berubah menjadi manusia yang baik. Aku juga sudah terbebas dari perjanjian dengan mami yang menjadi bosku. Apalagi, kata Dik Retno, kasihan jika darah yang mengalir dalam tubuh anak kita berasal dari nafkah yang haram. Aku jadi teringat ke dua anakku yang selama ini memakan kiriman uangku. Ya Allah, ampunilah mereka yang tak berdosa. Tidak tahu apa-apa.

****

“Mbok, bagaimana kalau Tini ikut kerja jadi TKI seperti Warni dan Denok itu?” kataku pada suatu malam pada ibuku. Setelah dua tahun berlalu sejak Mas Narto tidak ada kabar berita sedikitpun kepada kami. Mas Narto yang mencoba mengais rezeki pergi ke Jakarta, setelah panen di desaku gagal total karena diserang hama. Aku mulai putus asa dengan keadaan keluargaku yang bahkan untuk membeli seliter beras saja sangat kewalahan. Aku miris dengan keadaan anakku, hidup serba kekurangan dan kurang gizi. Namun apa yang bisa aku lakukan di desa miskin ini yang bahkan jika di musim kemarau tanah-tanah kami retak-retak karena kekeringan..
“Kita ndak punya uang Tin untuk membiayaimu pergi jauh itu,” jawab si Mbok kemudian.

“Nggak usah dipikirin soal biaya itu, mbok. Kemarin ada yang menawarkan gratis. Bisa dicicil dengan potong gaji jika nanti aku sudah bekerja, mbok”.
“Tapi bagaimana dengan anak-anakmu, Tin? apa kamu tega meninggalkan mereka? Apa kamu yakin bahwa orang itu tidak menipu kamu?”
Aku hanya bisa terdiam. Memang berat meninggalkan anak-anakku yang saat itu masih berumur 4 dan 3 tahun. Tapi bagaimana dengan masa depan mereka, sekolah dan makan mereka?

“Apa tidak lebih baik jika kamu mencari kerja di sini saja tho, Tin?”.
Namun akhirnya aku bisa meyakinkan si Mbok, bahwa dengan waktu 2 tahun aku bisa mengumpulkan uang banyak dan bisa membuka usaha di kampung miskin ini seperti Warni dan Denok yang sekarang, rumahnya paling megah di antara penduduk kampung kami.
Namun ternyata firasat si Mbok itu benar. Ternyata orang yang mau menyalurkan aku menjadi TKI justru menjual aku ke seorang germo di pulau Sumatera. Aku tak bisa berbuat apa-apa meski pada awalnya aku menangis dan tersiksa, karena aku tak bisa melarikan diri. Bodyguard-bodyguard lokalisasi itu selalu siap beraksi jika ada yang berani bertingkah macam-macam. Apalagi aku teringat dengan anak-anakku dan si Mbok. Saat itu pikiranku pun buntu. Dan akhirnya aku semakin tersesat di jalan itu.
Dan aku tak tahu apakah ini kehendak yang kuasa, ketika lokalisasi tempat aku bekerja dibakar oleh masyarakat sekitarnya. Sedikit aku lega karena terlepas dari perjanjian dengan mami, bosku, meski aku harus kehilangan pekerjaan hinaku. Dan Tuhan akhirnya membawaku ke Kota Bertuah dan mempertemukanku dengan Dik Retno yang sedikit banyak sudah mengingatkanku.

****

“Bagaimana Mbak jualannya?” tanya Dik Retno ketika aku menitipkan sisa daganganku agar disimpan di dalam kulkasnya.
“Ehmmm…lumayan, Dik, laku 15 bungkus,” jawabku lirih.
“Mbak, ternyata Ramadan sudah setengah bulan berlalu ya, cepat sekali. Semoga tahun depan kita bisa bertemu lagi dengan Ramadan,” kata Dik Retno bersemangat.

Aku hanya mengangguk dan berpamitan pulang. Sesampai di kamar kubuka lemari plastikku. Terlihat di sana mukena yang terlipat rapi karena sudah bertahun-tahun tak kusentuh. Kuambil mukena itu sambil mengucapkan bismillah, untuk memulainya kembali.
Suara orang mengaji di masjid masih terdengar sayup-sayup seakan menemaniku mencari cahaya di bulan Ramadan tahun ini. Ya Allah, ampuni aku…

****

Cerpen Tentang Ramadhan ini oleh:
Sri Nurwidayati,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar