Selasa, 04 Januari 2011

Francis dan Kucing-kucing Kecil

cerpen-francisIA menggigil menatap jalan. Jaket berornamen bulu dombanya telah basah kuyup dari tadi, ketika hujan turun dengan derasnya. Jalan telihat lengang, sesekali sorot lampu mobil menyilaukan pandangannya di antara tempias air yang berjatuhan. Dan lambaian tangannya benar sia-sia saja, tak ada tumpangan untuk malam ini. Laki-laki itu mengibaskan jaketnya hingga bulir-bulir air jatuh berderai ke lantai di sepanjang emperan toko yang satu jam lalu telah ditutup oleh sang pemiliknya.

Ia menghembus napas, mencoba mencari kehangatan dari dirinya sendiri. Ia ingin pulang. Seseorang itu telah berjanji padanya untuk datang dua jam lalu, tapi ia tak kunjung tiba, seorang wanita yang ia kenal setahun silam, membawa hatinya pada satu harapan.

Laki-laki itu ingin pulang, secangkir susu panas beserta selimut hangat lebih menggiurkan ketimbang berdiri kaku di antara deras hujan malam ini. Rahangnya yang kokoh berubah kaku.

Petir kembali menyambar. Laki-laki itu makin bersedekap, mengatup tangannya dengan erat. Sebuah kantong plastik berisi tembakau pilihan di apitnya dalam jaket, hampir saja ia kehabisan stok tembakau yang diperlukan Ibunya. Janji tetaplah janji, ia pun tak tahan lagi, sudah kepalang basah, malam pun semakin larut. Laki laki dengan kumis tipis itu bergegas menerobos hujan yang kian deras.

***

“Apa yang mesti kulakukan, Mbak?” wanita bermata bening itu menangis di sudut tempat tidur, seorang lagi yang dipanggil dengan sebutan “mbak” itu sibuk mengoles lipstik di bibirnya.

“Jalani saja. Ayahmu sendiri yang mengantarkanmu ke sini lagi, kan?” Mbak itu berkerling manja, membuat wanita itu tambah bersedih. “Tak ada gunanya lari dari tempat ini, nikmatilah.”

“Aku berjanji pada sesorang. Aku mesti menemuinya,” wanita itu me-nyeka airmata
“Kau masih komunikasi dengan pria itu? Siapa? Oh ya Francis. Sudahlah, masa lalumu tak ada gunanya. Apa yang kau harapkan dari laki-laki seperti itu. Cepatlah berhias, ada yang akan membawamu malam ini. Madam rugi jika kau tak ada.”

Wanita itu masih terisak-isak hingga seseorang bertubuh gempal mendekatinya, dan melihatnya menangis.
“Aku takkan menyakitimu.”
“Tapi kau inginkan tubuhku? Sama saja!”

“Itu pasti,” kumis lelaki itu ber-gelombang, membuat wanita mual.
“Aku belum makan, bisakah kita makan di luar?” pinta wanita
“Baiklah, lebih baik kau ke apartemenku saja, di sini kurang nyaman.”

Begitu mudahnya lelaki itu mempercayai wanita yang baru lima menit di kenalnya tersebut, mereka melaju di jalanan yang basah karena hujan. Dan lelaki itu terus saja berceloteh, hingga tak mengerti apa yang akan terjadi beberapa saat kemudian.

Lelaki itu membanting stir dengan keras, pandangannya kabur saat sebuah balok kayu keci menghantam kepalanya dengan cepat.

Pekikan wanita menambah histeris keduanya, keberanian yang belum pernah ia lakukan seumur hidup demi janji pada seseorang. Sesaat kemudian ada yang terpental dari muka mobil, seseorang melewati pembatas jalan dan mobil pun menghantam tembok pagar. Hujan pun makin deras, tenggelam dalam pekat malam.
Tembakau pun berhamburan di muka jalan, baunya mengenang bercampur hujan.

***

Air menggelegak dari panci. Uapnya membuat gemerutuk panci berbunyi keras dan sang wanita paruh baya tersentak karenanya. Dia bergegas meraih gelas dan menuang air hangat itu ke dalamnya, “Francis pasti kedinginan” begitu fikirnya. Namun gelas yang berada di hadapannya itu seketika saja terburai, membuat tangannya melepuh. Wanita paruh baya itu meringis, gelas keramik takkan mudah pecah hanya karena air panas. Ini pasti ada firasat buruk, batinnya.

Jarum jam berdentang, wanita itu beralih ke ruang depan. Pukul 11.15 malam, sesekali ia menyibak gorden berharap seseorang itu akan pulang agar cemasnya hilang.

“Bagaimana Francis?” Desisnya. Baginya, Francis adalah harta yang ia miliki selain rumah yang tengah di tempatinya itu. Anak lelakinya yang berumur dua puluh lima tahun tepat lima hari lagi. Ia menyesal kini, karena tiga jam lalu memaksa Francis untuk membelikannya sekotak tembakau pilihan yang dijual khusus di pusat kota. Meski mobil bututnya tengah diperbaiki, Francis tak menolak juga pergi dengan angkutan umum. Francis patuh padanya, andai saja kecanduannya tak kambuh saat itu juga, mestinya Francis kini tengah terlelap bersama mimpi-mimpinya.
Wanita itu kesepian, hanya Francis dan kucing-kucing kecil itu yang menemaninya. Kini ia terus mendesak Francis untuk segera menikah, hingga ia merasakan kembali kehidupan itu. Keegoisan yang mutlak. Wanita itu menangis, menangisi malam-malam yang makin mempercepat detak jantungnya. Ia segera mengambil kotak dalam laci tempat tidurnya di kamar, lalu memasukkannya butir per butir ke dalam mulut. Di cengkeramnya sisi kasur dengan erat, lalu seteguk air sedikit melegakan ketegangan itu. Dan ketika itulah, Ia yakin bahwa Francis telah pulang, ada yang membuka pintu pagarnya.

Wanita itu menyibak gorden jendela, mencoba mengamati dari kaca yang berembun. Ia tersenyum tipis, “Francis !!” serunya. Dia datang bersama seseorang, seorang wanita. Francis menepati janjinya juga tembakau itu.

Wanita paruh baya bergegas me-raih mantelnya lalu membuka pintu depan. Kucing-kucingnya mengeong dan menggigiti ujung mantel, berusaha menahan wanita itu keluar rumah namun wanita itu terus saja melangkah. Angin berhembus kencang dan ia kehilangan bayangan anak lelakinya.

“Francis!! Masuklah, nak!” teriaknya dalam gemuruh hujan.

Wanita itu menuruni tangga dan menuju pagar depan, hanya ilusi ternyata. Francis tak pulang. Pintu pagar bergoyang-goyang akibat angin. Ia berdiri cukup lama di pagar, tangisnya pun pecah dan ia tetap menanti seseorang itu untuk pulang.

Petir kembali menyambar, wanita paruh baya itu terpeleset di tengah derasnya hujan. Sekujur tubuhnya basah bersama malam, ia terus sesenggukan tanpa tiada yang datang.
“Francis, kaukah itu nak?”

Wanita itu tiada daya lagi, tubuhnya terlentang di halaman. Pikirannya berkelebat akan bau tembakau yang me-nyelimuti penciumannya. Namun ia sempatkan terse-nyum ketika uluran tangan membuatnya terasa hangat. “Francis, kau pulang?”. Ia terus berbisik pelan dan semakin pelan dalam malam yang kian kelam.
“Francis…” batinnya.***

Desy Wahab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar