Selasa, 04 Januari 2011

Seorang Filosof

Cuaca semakin hari semakin tak bersahabat. Aku pikir cuaca akan terus seperti pertempuran antara Israel dan Palestina, gelap, kelam, dan gemuruh-gemuruh kecil yang menembus atmosfer bumi. Tapi, karena pusat tata surya tak mampu lagi membakar dirinya sendiri, makanya awan yang menyelimuti bumi pun diusirnya jauh-jauh. Awan hitam mulai berlari menghindar. Tanpa minta izin lagi kepada penghuni bumi, bola api besar itu mengobarkan panasnya.

Aku datang pagi-pagi sekali. Embun yang menusuk tulang pun belum usai menebarkan semerbak bau bunga putih mungil ini. Ketika aku masuk dalam kelas, terlihat tiga orang temanku yang sedang mengerjakan PR, pemandangan di kelas ini yang memang sudah biasa. Ya, sejak dilantik sebagai kelas excellent (kelas unggulan), semuanya harus lebih giat lagi belajar apalagi PR yang dihadapi semakin melimpah. Keadaan kelas tidak dipedulikan, sampah berserakan, meja dan kursi marah karena tak terurus. Aku memang orang yang egois dan mementingkan diri sendiri. Ketika salah seorang temanku membersihkan kelas, aku sedikitpun tak menoleh ke arahnya. Padahal sepuluh menit lagi bel akan berbunyi dan mendorong kami untuk siap belajar. Aku sibuk dengan tumpukan tugas yang berebut ingin diselesaikan. Angin sepoi-sepoi menerbangkan debu halus yang menerpa wajahku dan menyusup di balik kelopak mata, itu juga tak kuhiraukan. Memang pada hari itu bukan jadwal piketku. Tapi kebersihan dan kenyamanan kelaskan tanggung jawab bersama?

Beberapa menit kemudian bel pun bernyanyi riang dan menyuruh seluruh siswa untuk siap belajar. “Ya ampun, bagaimana ini? Seluruh PR harus diantar hari ini!” aku bergumam kecil di dalam hati.

Kursi belum penuh terisi oleh tuan-tuannya. Kemungkinan hari ini banyak lagi siswa yang terlambat. Ternyata tebakanku benar. Mereka diinterogasi oleh bibir-bibir yang tegas dan penuh hukuman. Bangunan yang bernyawa ini menyaksikan pengakuan setiap siswa. Di antara mereka terdapat salah seorang temanku di kelas ini. Dia masuk dengan tergesa-gesa dengan tas ransel besar di belakang pundaknya, Alquran mini di sakunya, dan gesekan sepatu yang bernyanyi riang. Remaja penghafiz Alquran ini menebarkan senyum manis di setiap sudut ruang hati teman-temannya. Dia adalah Kevin siswa terkeren, imut dan bisa dibilang seleb kelas ini.

Setelah selesai berdoa, kami belajar seperti biasanya, dituntut untuk selalu aktif dan bersemangat walaupun keadaan tak memungkinkan. Cahaya kecil menembus setiap ventilasi yang memberikan kehangatan ruangan yang tadinya seperti kutub. Aku dan lainnya mulai kegerahan. Perlahan-lahan kulepaskan jaket yang masih memelukku. Perubahan cuaca bukanlah alasan untuk tidak bersemangat dalam belajar. Hal itu tergantung pada pribadi masing-masing yang berpikir apakah visi dan tujuan hidup dapat tercapai tanpa pengorbanan mulai dari sekarang. Contohnya saja orang mukmin yang harus melewati dan menahan godaan syaitan untuk meneguk setetes air di kolam surga.

Pelajaran pertama dan kudua telah usai. Aroma tempat penggorengan mondar-mandir dan menusuk hidung. Cacing-cacing juga sudah SMS minta makan. Akhirnya bel bernyanyi sedikit serak karena dia juga kehausan. Kupu-kupu dan kumbang berhamburan dari sarangnya. Seluruh siswa keluar dari ketegangan menuju cerahnya kebebasan. Tapi waktu terus berjalan dan tak berlangsung lama. Baru sebentar rasanya menikmati tiupan angin yang membelai mesra, kejernihan dan ketenangan air serta tanaman yang tertancap elok dengan lambang kehijauan.

Lagi-lagi semuanya kembali ke sarang ilmu. Tapi kelas ini bersorak gembira katika menerima berita bahwa sang motivator selanjutnya tidak hadir. Hal itu menandakan kebebasan, tidak ada ketegangan untuk dua jam pelajaran. Makin siang hari makin berkobarlah bola api itu. Saklar baling-baling dihidupkan dengan kelajuan tinggi. Keadaan kelas sungguh memprihatinkan. Hiruk-pikuk seperti di dalam hutan yang terjadi perkelahian antara harimau dan serigala buas berebut makanan. Juga tak kalah serunya lagi dengan pasar yang mengobral gosip, kata-kata dan teka-teki yang menggelitik perut. Di balik keributan juga masih terlihat beberapa orang siswa yang menghargai waktu.

Di barisan bagian belakang, salah satu di antaranya yaitu ketua kelas kami sendiri. Dia seorang yang bijak, cerdas, dan selalu menghadapi suatu masalah dengan perasaan dingin, tekanan darah dan detak jantung normal. Remaja bertanggung jawab inilah yang selalu menutupi segala kekurangan di kelas, baik itu segi materil maupun moril. Mungkin dia bisa dijadikan panutan, penuh semangat belajar layaknya seorang filosof. Tapi di manakah semangatnya untuk menyadarkan teman-temannya bahwa menghargai waktu itu sangatlah penting. Aku juga menyadari bahwa aku tidak dapat menahan bibir ini untuk tidak meneluarkan suara.

Aku mulai terlena karena buaian baling-baling yang berada di atas kepalaku. Aku seperti tertidur di atas kasur pelangi yang empuk dan kelopak mawar sebagai selimutnya. Tiba-tiba otak kiriku membangunkan otak kananku yang sedang melamun. Aku tersentak dari lena. Ketua kelas kami tiba-tiba muncul di hadapan mata-mata yang menjadi sumber bunyi. Pandanganku yang tadinya tembus melewati tembok, tertuju padanya. Sorotan matanya tajam penuh makna. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari lidahnya. Dia terus termenung dan memikirkan tingkah laku siswa di kelas ini yang tak bisa dikendalikan. Sampai-sampai hiruk-pikuk menggema menuju planet pluto. Tiba-tiba dia berkata “Tolonglah. Hargai teman di kelas sebelah yang sedang belajar!” kemudian aku tak melihatnya lagi. Dia seperti Jin yang keluar dari lampu yang di gosok oleh Aladin. Ketika aku membalikkan badan, dia sudah duduk lagi menjadi seorang filosof.

Bel kembali meraung menyuruh seluruh makhluk yang ada dibangunkan pemampung ilmu itu kembali ke sarangnya masing-masing. Aku pulang dengan sahabat karibku, Diana. Setiap detik perjalanan pulang aku memikirkan perkataan ketua kelas kami tadi. Ternyata kata-kata sederhana itu mengandung makna besar. Aku baru menyadari arti menghargai waktu dan perkataan orang lain. Mungkin perilakuku selama ini sedikit salah sampai-sampai beberapa orang teman di kelas sebelah mengatakan bahwa anak kelas kami banyak yang sombong ya mungkin itu termasuk aku. Perkataan Diana yang serius itu tidak aku denarkan. Pikiranku seperti melayang dan hanyut di bawa angn menuju kesadaran. Kerikil-kerikil tajam yang kulewati seperti mengerti maksudku sekarang. Dan ilalang pun berbisik mencoba mengatakan sesuatu untuk lebih menyakinkan diriku. Sejenak pikiranku berkata, “inikah yang dinamakan panutan?” ***

Nurul Hidayu,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar