Pagi ini tak seperti pagi-pagi kemarin. Matahari sudah tak enggan lagi bersinar dengan kecerahan yang sempurna. Sudah tak ada lagi awan hitam yang menyembunyikannya. Yang ada justru awan-awan putih seperti kapas yang bergerak lamban ditiup angin sepoi. Dengan background langit biru.
Burung-burung pun seolah ikut berperan. Suara-suara cicit yang terdengar bukannya membuat berisik melainkan seperti melodi yang akan menjadi pembuka kisah hari ini. Ia terbang kesana-kemari, bertengger dari satu pohon besar ke pohon besar lainnya. Saling menyenandungkan lagu yang hanya mereka yang mengerti artinya. Merekalah satu-satunya yang membuat tempat ini tak benar-benar sepi.
Semangatku pun lahir dengan hadirnya pagi yang penuh warna ini. Setelah kemarin aku merasa sendiri, kesepian. Gara-gara hujan tak berhenti turun selama satu minggu, tak ada satu orang pun yang datang ke tempatku. Aku memang sudah hampir satu bulan tinggal di sini. Jadi setiap hari aku selalu berharap ada orang yang mau datang ke rumah baruku, tak diajak mengobrol pun tak apa, mereka sudah datang melihatku saja aku sudah senang.
Awalnya aku tidak tinggal di sini. Aku tinggal di sebuah rumah kos bersama beberapa teman yang kuliah di universitas yang sama denganku. Kami semuanya berjumlah dua puluh orang. Bayangkan betapa ributnya rumah yang ditinggali dua puluh wanita yang dikenal sebagai makhluk yang rumit. Setiap hari setiap orang membawa masalah yang berbeda-beda. Mulai dari soal cinta, tumpukan tugas-tugas dari kampus, sampai masalah kewanitaan. Tak ada lagi yang dirahasiakan.
Aku rindu dengan semua itu. Saling berbagi dan kadang-kadang saling marah seperti anak kecil berkelahi. Apalagi aku dikenal sebagai orang yang tak bisa diam, hiperaktif, kata mereka.
Maka ketika harus berpisah dari mereka dan tinggal sendiri, tanpa siapa-siapa, membuat aku menangis setiap malam. Semoga saja tak ada yang mendengar suara tangisanku. Sebenarnya aku juga tak mau hidup seperti ini, sebatang kara seperti tak punya siapa-siapa. Tapi apa mau dikata, jalan hidup masing-masing orang sudah ada yang mengatur. Aku tak bisa apa-apa.
Ah, kenapa aku seperti menyalahkan takdir. Seharusnya aku yakin bahwa Tuhan memiliki maksud di setiap rencana-NYA. Dia juga pastilah memiliki suatu rencana dengan menempatkan aku di sini. Dia jauh lebih tahu apa yang terbaik buatku melebihi diriku sendiri.
Seperti pagi ini, aku yakin pasti akan ada orang yang datang mendatangiku. Kalau tidak mengapa dia membiarkan matahari bersinar di bulan musim penghujan, Desember. Suatu hal yang tidak biasa. Ketika pikiranku tengah asyik melayang-layang dari teman-teman kos, rumah baruku, sampai takdir Tuhan, tiba-tiba saja satu keajaiban datang.
Sebuah mobil berhenti di depan. Aku berusaha menajamkan penglihatanku demi apa yang sekarang aku saksikan. Dua sosok, seorang pria dan seorangnya lagi wanita, turun dari kendaraan yang baru saja membawa mereka ke sini. Aku biarkan mereka berjalan mendekatiku.
Semakin dekat aku mampu mengenali keduanya. Yang perempuan, Mela, dia bukan saja teman satu kosku dulu tapi dia juga teman satu kampusku. Maka jadilah kami bersahabat. Dia tahu semua tentang diriku, begitu juga aku tahu semua tentang dirinya. Tak ada yang kami rahasiakan. Sama-sama tinggal jauh dari keluarga membuat kami seperti kakak-adik.
Dan laki-laki yang bersamanya adalah Kokoh. Tapi dia tak seperti namanya, tak sekuat namanya. Apalagi setelah berpisah denganku. Tepatnya aku yang meminta kami untuk berpisah. Ia tak bisa menerimanya dan meminta alasan mengapa aku lakukan itu. Aku bilang tak tahu, ia tak percaya. Padahal aku memang benar-benar tak tahu. Aku sendiri tak bisa mengenali perasaan apa waktu itu yang membuat aku yakin untuk memutuskan hubungan kami. Hubungan yang bahkan sudah hampir menuju ke arah pernikahan.
Mereka berdua tepat berdiri di depanku, lalu tanpa kupersilahkan mereka serentak berjongkok. Aku sudah berniat untuk berhenti menangis tapi aku tahu kali ini akan gagal.
Aku yakin, pasti Mela yang membawanya ke sini. Pasti Kokoh yang memaksa sahabatku itu untuk menunjukkan tempat baruku. Aku sengaja meminta Mela untuk jangan menginformasikan apapun perihal hidupku kepada Kokoh. Biarlah cerita perpisahan kami menjadi akhir atas segalanya. Jangan ada lagi lanjutannya, Kokoh sudah cukup tersakiti. Aku tak mau menambah sakitnya jika ia tahu yang sebenarnya. Tapi sahabatku itu tak akan sanggup membiarkan seorang pria menangis di hadapannya. Kokoh, bahkan aku lebih kuat darinya.
Dan drama pagi ini benar-benar dimulainya dengan isakan dengan kepala yang tertunduk dalam. Mela ikut me-nangis. Aku memohon supaya mereka jangan menangis. Sia-sia, tak ada seorangpun yang bisa mendengar suaraku. Aku pun ikut menangis. Aku juga terluka dengan perpisahan ini. Bahkan lebih terluka dari luka yang mereka punya.
Aku tidak saja harus berpisah dengannya dan teman-teman yang lain, tapi juga orang tuaku. Parahnya aku juga harus berpisah dengan dunia-tempat di mana selama ini aku ada.
Isakan itu mulai berhenti namun tak menghentikan isakanku kare-na kalimat yang diucapkannya membuat aku ingin hidup kembali. Mustahil akan terjadi.
“Aku masih mencintaimu, Bidadariku. Bagaimana denganmu?” Dadaku bertambah sesak, seharusnya dia tak menanyakan itu. Dia pasti tahu jawabanku sekarang. Aku masih sangat mencintainya.
Mela mengerti itu. Ia sentuh pundak Kokoh, dengan isakan yang semakin kuat, ia mengatakan, “Jangan menanyakan itu, Ko. Fara akan sedih mendengarnya.”
Seolah-olah tak menghiraukan apa yang dikatakan Mela, Kokoh melanjutkan kalimatnya, “Maaf, Bidadariku, aku membiarkanmu menanggung rasa sakit sendirian. Aku telah menyalahkanmu padahal aku tak tahu apa-apa tentangmu.”
Aku memang tak memberitahu Kokoh tentang penyakitku. Penyakit yang menurut para dokter akan mengambil jatah hidupku dengan sangat cepat. Aku mencela mereka saat itu, tahu apa manusia tentang ajal.
Lama-kelamaan penyakit itu seperti mengambil semua ketahanan tubuhku. Aku jadi ikut membenarkan diagnosa para dokter bahwa aku takkan bisa bertahan hidup lebih lama. Aku sangat sedih tapi aku tak mau membuat orang lain menjadi sedih dengan keadaanku. Pikiran itu yang membuat aku memutuskan untuk merahasiakannya sendirian.
Akhirnya aku putuskan hubunganku dengan Kokoh secara sepihak. Sekarang aku baru tahu mengapa aku melakukannya. Aku ingin membuat Kokoh siap atas kepergianku nanti. Membiarkan ia manjalani hari-harinya tanpa aku lagi. Biar jika ketiadaanku yang sebenarnya datang, dia sudah terbiasa. Firasatku akan datangnya kematian memang sangat kuat saat itu.
Dan itu sama sekali tak salah. Satu bulan setelah kami berpisah aku dijemput malaikat bersayap dari langit. Kokoh sama sekali tak tahu berita kematianku. Ia sedang berada di luar kota untuk menyelesaikan proyek kantornya. Tak ada satu pun yang memberita-hunya karena orang-orang menganggap apa yang terjadi padaku sudah tak penting lagi untuk diketahui oleh Kokoh.
Kematianku begitu mudah, begitu indah. Mungkin karena aku telah bersiap-siap akan itu.
Tengah hari, matahari kini tepat berada di atas kepala. Mereka berdua pasti sangat kepanasan. Setelah membacakan doa untukku, Kokoh mencium nisan bertuliskan:
ELFARA binti ARYO DIMA
Lahir
08 April 1989
Wafat
30 November 2009
Secarik kertas bertuliskan puisi diletakkannya di atas gundukan tanah-rumah baruku- dengan serakan bunga-bunga yang baru mereka taburkan. Kokoh tahu aku sangat menyukai puisi.
Kemudian mereka berbalik meninggalkan pemakaman ini. Aku memandangi keduanya, maafkan aku meninggalkan kalian lebih dulu, bisik hatiku.
Setelah benar-benar hilang dari pandanganku, barulah aku membaca puisinya.
Untuk bidadariku yang telah
Pergi
Tak tahu aku
Apa akan ada lagi yang seperti kamu
Biar aku tenggelam dalam waktu
Menantinya akan menjemputku
Seperti dia menjemputmu
Aku rela
Percayalah, aku rela
Aku tersenyum, senang mengetahui isi puisi itu. Kokoh memang bukan laki-laki yang kuat tapi dia mampu untuk ikhlas.
——————————————————
Erma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar